leh
Adi Suarman Situmorang
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Masalah
Saat ini, hampir setiap orang mulai
dari orang awam, pemimpin lembaga pendidikan dan manajer perusahaan berbicara
tentang pentingnya kreativitas. Untuk menghadapi
tantangan
perkembangan IPTEK diperlukan sumberdaya yang memiliki ketrampilan tinggi yang
melibatkan pemikiran kritis,
sistematis, logis, kreatif, dan kemampuan kerja sama yang efektif Depdiknas (2003). Kreativitas adalah suatu produk dari berpikir kreatif, sementara
berfikir kreatif merupakan proses yang digunakan untuk memunculkan ide
baru yang dikendalikan oleh kemampuan berfikir dalam proses pemecahan masalah, dan
proses pemecahan masalah tersebut membutuhkan pemahaman konsep (Shouksmith,1979). Jadi dapat kita nyatakan bahwa tingkat
penguasaan konsep matematika yang rendah akan mempengaruhi proses berfikir
matematika dan proses berfikir kreatif,
dimana hal ini akan mengakibatkan proses pemecahan masalah matematika siswa
akan rendah
Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang memegang peranan yang sangat
penting dalam pendidikan, karena selain dapat mengembangkan pemikiran kritis, kreatif, sistematis, dan logis, matematika juga telah memberikan kontribusi dalam
kehidupan sehari-hari mulai dari hal yang sederhana seperti perhitungan dasar
sampai hal yang kompleks dan abstrak seperti penerapan analisis numerik dalam
bidang teknik dan sebagainya. Namun
kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar lulusan sekolah kurang
mampu menyesuaikan diri dengan perubahan
maupun perkembangan teknologi, sulit untuk dilatih kembali, kurang bisa
mengembangkan diri dan kurang dalam berkarya artinya tidak memiliki kreativitas
(Trianto, 2010). Bahkan untuk memasuki abad 21 keadaan sumber daya
manusia Indonesia tidak kompetitif dan sampai saat ini, mutu pendidikan di Indonesia masih
sangat rendah dibandingkan dengan negara yang lain (Nurhadi dkk., 2004).
Khusus untuk matematika Hasil survei trends in Mathematics and Sciences
Study (TIMSS) tahun 1999 menempatkan Indonesia pada posisi ke-34 dari 48 negara
dalam bidang matematika (Supriyoko, 2008). Hasil TIMMS tahun 2003 menempat kan
indonesia pada posisi 34 dari 45 negara, dan lebih dari separuh pelajar
Indonesia dikategorikan berada di bawah standar rata-rata skor Internasional
(Kompas, 13 Maret 2006). Sedangkan menurut catatan Human Develompment Repot tahun
2003 versi UNDP bahwa peringkat HDI (Human Develompmen Index) bahwa kualitas
sumber daya manusia Indonesia berada di urutan 112, Filipina 74, Malaysia 58,
Brunai 31, Korea selatan 30, sigapura 28. Jika ditinjau dari prestasi yang
dicapai oleh wakil Indonesia dalam Olimpiade Matematika Internasional dari
tahun 1995 sampai tahun 2003 selalu dibawah median, misalnya pada tahun 2003
prestasi Indonesia masih berada pada
urutan 37 dari 82 Negara (Marpaung, 2006).
Wahyudin (1999) mengemukakan
bahwa:
“Ada empat kelemahan yang dimiliki oleh siswa sebagai
penyebab rendahnya hasil belajar siswa antara lain, kurang memiliki pengetahuan
materi prasyarat yang baik, kurang memiliki kemampuan untuk memahami srta
mengenali konsep-konsep dasar matematika (seperti definisi, teorema, aksioma,
dalil, kaidah) yang berkaitan dengan pokok bahasan yang sedang dibicarakan,
kurang memiliki ketelitiaan dalam menyimak dan mengenali persoalan matematika
yang berkaitan dengan pokok bahasan tertentu, kurang memiliki kemampuan untuk
menyimak kembali sebuah jawaban yang diperoleh (apakah jawaban tersebut mungkin
atau tidak), dan kurang memiliki kemampuan nalar yang logis dalam
menyelesaiakan persoalan matematika. Keempat kelemahan ini akan menghabat proses belajar bermakna, di
mana belajar bermakna.”
Belajar bermakna maksudnya, di samping materi yang disajikan harus
disesuaikan dengan kemampuan siswa, juga harus relevan dengan struktur kognitif
siswa, sehingga materi harus dikaitkan dengan konsep-konsep (pengetahuan) yang
telah dimiliki siswa dan dikaitkan dengan bidang lain atau kehidupan
sehari-hari siswa (Ausubel dalam Hudojo, 1998). Lebih lanjut,
Hudojo (1988) mengemukakan bahwa:
“konsep
dapat dipahami melalui hubungan antara interaksinya dengan konsep lain, karena dalam proses
belajar matematika, prinsip belajar harus terlebih dahulu dipilih, sehingga
sewaktu mempelajari metematika dapat berlangsung dengan lancar, misalnya
mempelajari konsep B yang mendasarkan pada konsep A, seseorang perlu memahami
lebih dahulu konsep A. Tanpa memahami konsep A, tidak mungkin orang itu
memahami konsep B. Ini berarti mempelajari matematika haruslah bertahap dan
berurutan serta mendasarkan pada pengalaman belajar yang lalu”
Dalam menjelaskan konsep baru perlu membuat kaitan
antara materi yang akan dipelajari dengan materi sebelumnya sebagai prasyarat
sehingga akan membuat siswa siap mental untuk memasuki
persolan-persoalan yang akan dibicarakan dan juga dapat meningkatkan minat dan
prestasi siswa. Kegiatan belajar-mengajar matematika yang
terputus-putus dapat mengganggu proses belajar-mengajar ini berarti proses
belajar matematika akan terjadi dengan lancar bila belajar itu sendiri
dilakukan secara kontiniu (Hudojo, 1988). Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa seseorang akan lebih mudah untuk mempelajari sesuatu apabila
belajar didasari pada apa yang telah diketahui sebelumnya karena dalam
mempelajari materi matematika yang baru, pengalaman sebelumnya akan
mempengaruhi kelancaran proses belajar matematika.
Salah satu contohnya adalah hasil
olympiade matematika SMU tingkat nasional menunjukkan bahwa bidang studi
matematika cenderung rendah dibandingkan dengan bidang studi lainnya. Hal ini
disebabkan oleh lemahnya pemahaman konsep dasar matematika siswa dan siswa belum
bisa memahami formulasi, generalisasi, dan kreativitas(Yahya dalam Situmorang
A.S, 2006). Bahkan diperoleh keterangan 80% dari peserta memiliki penguasaan
konsep dasar matematika yang cukup lemah sehingga kreativitas menjawab soal
menjadi sangat lemah (Yahya dalam Situmorang, 2006).
Hal yang sama juga di peroleh dari hasil wawancara
dengan guru-guru di SMA Negeri 5 Medan bahwa hampir 90% siswa kelas X pada awalnya takut dengan mata
pelajaran matematika dan tidak memiliki semangat atau gairah belajar saat pelajaran
matematika berlangsung. Setelah diamata apa penyebab ketakutan tersebut
oleh guru-guru matematika yang ada di SMA Negeri 5 Medanberdasarkan cara siswa menyelesaiakan soal, ternyata
penyebabnya adalah lemahnya pemahaman konsep matematika dan kreativitas
matematika siswa juga sangat lemah. Misalnya, suatu fungsi didefinisikan dengan, maka berapakah nilai f(1)?
Ternyata sekitar 25% siswa masih belum paham dengan apa yang di ketahui dan apa
yang ditanyakan sehingga tidak dapat menjawab soal tersebut, 40% siswa lainnya
telah tahu apa yang diketahui dan yang ditanyakan, namun setelah nilai x = 1 di
substitusika banyak siswa mengalami kesalahan dalam perhitungan yaitu dalam
menyelesaikan penjumlahan , salah satu contoh jawaban siswa adalah , 25% menjawab bahwa dengan benar namun tidak muncul cara
penyelesaiannya hanya menuliskan diketahui dan ditanya kemudian langsung
memberikan jawaban f(1) = .
Hal ini akan menimbulkan pertanyaan baru apakah siswa
benar-benar paham atau tidak? Selain
menunjukkan bahwa rendahnya pemahaman konsep, jawaban ini juga merupakan sebagai
bukti bahwa aktivitas serta pola jawaban siswa dalam menyelesaikan persoalan matematika kurang bervariasi.
Bukti bahwa rendahnya pemahaman konsep
ini dapat menjadikan rendahnya kreativitas siswa adalah sebagaimana gambar: 1.1
berikut.
Gambar: 1.1. Hasil jawaban siswa yang bermasalah dalam
kreativitas
(Diambil Dari Hasil Jawaban Siswa)
Dari gambar: 1.1. di atas menunjukkan
bahwa komponen kreativitas belum muncul diantaranya, unsur fluensi bernilai 0, unsur
flexibility bernilai 0, dan originality bernilai 0. Hampir 45
% dari 40 orang siswa menjawab seperti itu, 40% siswa bahkan tidak bisa
menjawab, 5% sudah dapat mencapai nilai 2 untuk fluensi, nilai 0 flexibility,
dan nilai 2 untuk originality,
selanjutnya 10% lagi siwa suadah menjawab dengan benar bahkan nilai fluensin, flexibility, dan originalitynya telah mencapai nilai 4
dengan variasi jawaban masing-masing.
Agar siswa mencapai nilai sempurna
untuk setiap unsur kreativitas, seharusnya siswa menjawab:
Misalkan fungsi kuadrat yang dimaksud adalah y = ax2
+ bx +c, sehingga pada saat grafik melalui:
-
Titik A(0,-5) diperoleh:
y = ax2
+ bx +c
Û -5 = a(02)
+ b(0) + c
Û c = -5
-
Titik B(-3,1) diperoleh:
y = ax2
+ bx +c
Û 1 = a(-3)2
+ b(-3) + c
Û 9a – 3b + c =
1 dengan mensubstitusikan nilai c =
-5 akan diperoleh
Û 9a – 3b – 5 = 1 dengan menambahkan kedua ruas dengan -5
diperoleh
Û 9a – 3b = 6 dengan membagi kedua ruas dengan 3
diperoleh
Û 3a – b = 2 . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . .. . . . . . . . . . . . . . . .
(1)
-
Titik C(1,1) diperoleh
y = ax2
+ bx +c
Û 1 = a(1)2
+ b(1) + c
Û a + b + c = 1 dengan mensubstitusikan nilai c = -5 akan
diperoleh
Û a + b – 5 = 1 dengan menambahkan kedua ruas dengan -5
diperoleh
Û a + b = 6 . . . . .
. . . . . . . . . . . . . .
. . . . . .. . . . . . . . .
. . . . . . . (2)
Dari persamaan
(1) dan (2) diperoleh:
3a – b = 2
4a = 8
Û a = 2 dengan
mensubstitusikan nilai a = 2 ke salah satu persamaan (1) dan (2) diperoleh
bahwa nilai b = 4.
Seandainya siswa mampu menjawab sampai
pada tahapan ini maka skor fluency, flexibility, dan originalitynya masih
bernilai 2, tetapi jika siswa menggambarkan grafik fungsi kuadrat dengan cara
membuat fungsi kuadratnya terlebih dahulu yaitu y = 2x2 + 4x – 5
lalu membuat tabel pasangan koordinat titik (x,y) lalu menggambarkannya dengan
benar maka nilai fluencynya 4 , flexibilitynya 2, dan originalitynya juga 2. Pada saat siswa
memberikan cara yang lain yaitu dengan
mencari titik puncak terlebih dahulu yaitu:
Tititik puncak parabola y = ax2
+ bx +c adalah sehingga:
Lalu kemudian
menggambarkan titik pasangan koordinat pada bidang kartesius lalu menghubungkan
titik-titik tersebut hingga membentuk kurva parabola dengan benar maka skor fluency, flexibility, dan originalitynya akan bernilai 4, namun jika ada
kesalahan dalam operasi matematikanya maka akan bernilai 3.
Rendahnya pemahaman konsep dan kreativitas matematika tersebut adalah suatu hal yang wajar dimana selama
ini fakta di lapangan menunjukkan proses pembelajaran yang terjadi masih konvensional dan berpusat
pada guru dan siswa hanya pasif,
sehingga aktivitas siswa terhambat dan tidak nampak. Siswa lebih sering hanya diberikan rumus-rumus yang siap
pakai tanpa memahami makna dari rumus-rumus tersebut (Trianto, 2010). Siswa
sudah terbiasa menjawab pertanyaan dengan prosedur rutin, sehingga ketika
diberikan masalah yang sedikit berbeda maka siswa akan kebingungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fisher (dalam Utari, 1999)
yang menyatakan bahwa faktor eksternal juga
dapat mempengaruhi perkembangan kognitif siswa, salah satu faktor
eksternal tersebut adalah guru.
Guru mempunyai peran dalam meningkatkan
hasil belajar siswa sehingga guru perlu menciptakan atau mendesain suatu
strtegi pembelajaran yang dapat memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk
berpartisipasi secara aktif dalam proses belajar mengajar, sehingga muncul
motivasi intrinsik pada diri siswa dalam belajar (Dahlan, 2003). Hal ini sesuai
dengan apa yang dikemukakan oleh Slameto (1987) yaitu, guru memegang peranan
penting dalam peningkatan kualitas siswa dalam belajar matematika dan guru
harus benar-benar memperhatikan, memikirkan dan sekaligus merencakan proses
belajar mengajar yang menarik bagi siswa, agar siswa berminat dan semangat
belajar dan mau terlibat dalam proses belajar mengajar, sehingga pengajaran
tersebut menjadi efektif.
Dalam upaya meningkatkan kualitas
pendidikan, maka diperlukan berbagai terobosan, baik dalam pengembangan
kurikulum, inovasi pembelajaran, dan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan
agar siswa tertarik dan tertantang untuk belajar dalam menemukan konsep dasar
suatu ilmu berdasarkan hipotesis sendiri, (Situmorang, 2004). Proses belajar
seperti ini akan lebih berkesan dan bermakna sehingga konsep dasar dari ilmu
ini tidak akan cepat hilang. Agar pembelajaran lebih optimal, model
pembelajaran dan media pembelajaran harus efektif dan selektif sesuai dengan
pokok bahasan yang diajarkan di dalam meningkatkan prestasi belajar siswa
(Situmorang, 2004).
Diatas telah diutarakan bahwa untuk mengembangkan kreativitas siswa diperlukan
penguasaan konsep. Untuk penguasaan konsep yang baik dibutuhkan komitmen siswa
dalam memilih belajar sebagai
suatu yang bermakna, lebih dari
hanya menghafal, yaitu memebutuhkan kemauan siswa mencari hubungan konseptual
antara pengetahuan yang dimiliki dengan yang sedang dipelajari di dalam kelas (Dahar
1989). Salah satu cara yang dapat mendorong
siswa untuk belajar secara bermakna adalah dengan penggunaan model pencapaian konsep (Joyce, 2009). Pada prinsipnya model pembelajaran pencapaian konsep
adalah suatu model mengajar yang menggunakan data untuk mengajarkan konsep
kepada siswa, dimana guru mengawali pengajaran dengan menyajikan data atau
contoh, kemudian guru meminta siswa untuk mengamati data tersebut.
Model ini membantu siswa pada semua usia dalam memahami
tentang konsep dan latihan pengujian hipotesis.
Model
pencapaian konsep ini banyak menggunakan contoh dan non contoh. Ada tiga cara
yang dapat dilakukan oleh guru dalam membimbing aktifitas siswa yaitu:
(a) Guru mendorong
siswa untuk menyatakan pemikiran mereka dalam bentuk hipotesa, bukan dalam bentuk observasi
;(b) Guru menuntun jalan pikiran siswa ketika mereka
menetapkan apakah suatu hipotesis diterima atau tidak;
(c) Guru meminta siswa untuk menjelaskan mengapa mereka
menerima atau menolak suatu hipotesis. Untuk melihat apakah model
pencapaian konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan kreativitas matematika siswa di kelas X SMA,
maka perlu diadakan suatu penelitian “Peningkatan Pemahaman
Konsep Dan Kreativitas Matematika Siswa Dengan Menggunakan Model Pencapaian
Konsep Pada Kelas X SMA
Negeri 5 Medan”.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah
yang di atas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut :
1.
Prestasi belajar matematika siswa masih rendah.
2.
Banyak siswa belum memahami konsep dasar matematika yang menimbulkan rasa
takut terhadap matematika dan akhirnya menghalangi munculnya kreativitas
menjawab soal matematika.
3.
Proses belajar masih bersifat konvensional dan berpusat pada guru, sehingga proses belajar mengajar tidak
bermakna dan kurang berkesan bagi siswa
4.
Kemampuan guru memilih dan menggunakan model pembelajaran yang tepat belum sesuai dengan
harapan.
1.3. Batasan Masalah
Berbagai masalah yang teridentifikasi di atas merupakan
masalah yang cukup luas dan kompleks, serta cakupan materi matematika yang
sangat banyak. Agar penelitian ini lebih fokus, maka masalah yang akan
diteliti apada penelitian ini fokus pada
kemampuan
pemahaman konsep dan kreativitas siswa SMA kelas X Negeri 5 Medan melalui model
pencaian konsep sebagai kelas eksperimen dan kemampuan pemahaman konsep dan
kreativitas siswa SMA kelas X Negeri 5 Medan menggunakan pembelajaran konvensional
sebagai kelas kontrol dalam penelitian ini, dengan meneliti permasalahan berikut :
1.
Kemampuan pemahaman konsep siswa
2.
Kemampuan kreativitas matematika siswa
3.
Aktivitas siswa.
1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, yang
menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.
Apakah peningkatan pemahaman
konsep matematika siswa yang diajarkan dengan model pencapaian konsep lebih
tinggi dari pada pemahaman konsep matematika siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional?
2.
Apakah peningkatan kemampuan
kreativitas matematika siswa yang diajarkan dengan model pencapaian konsep lebih
tinggi dari pada kreativitas matematika siswa yang diajarkan dengan
pembelajaran konvensional?
3.
Apakah ada interaksi antara model pencapaian konsep dengan tingkat kemampuan matematika terhadap peningkatan pemahaman konsep matematika siswa?
4.
Apakah ada interaksi antara model pembelajaran pencapaian konsep pembelajaran dengan tingkat kemampuan matematika terhadap peningkatan kemampuan kreativitas matematika
siswa?
5.
Bagaimanakah aktivitas siswa
selama proses pembelajaran model pencapaian konsep berlangsung?
1.5. Tujuan Penelitian.
Sesuai dengan rumusan masalah dan pertanyaan
penelitian di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1.
Mengetahui apakah peningkatan kemampuan pemahaman konsep
matematika siswa yang diajar dengan model pencapaian konsep lebih tinggi dari
siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional
2.
Mengetahui apakah peningkatan kemampuan kreativitas matematika
siswa yang diajar dengan model pencapaian konsep lebih tinggi dari siswa yang
diajar dengan pembelajaran konvensional
3.
Mengetahui apakah ada interaksi antara model
pembelajaran pencapaian konsep dengan tingkat kemampuan matematika siswa
terhadap peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematika siswa?
4.
Mengetahui apakah ada interaksi antara model pembelajaran pencapaian konsep dengan tingkat kemampuan matematika siswa
terhadap peningkatan kemampuan kreativitas matematika siswa?
5.
Mendeskripsikan
aktivitas siswa selama proses pembelajaran model
pencapaian konsep berlangsung?
1.6. Manfaat Penelitian.
Dengan tercapainya tujuan penelitian di atas
dapat diperoleh manfaat penelitian
sebagai berikut:
1.
Apabila pembelajaran Model Pencapaian Konsep dalam penelitian ini
berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa, maka pembelajaran model
pencapaian konsep dapat dijadikan sebagai alternatif salah satu strategi untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran matematika, dan secara khusus memperbaiki
hasil belajar matematika siswa.
2.
Sebagai alternatif pembelajaran yang diharapkan
dapat membuat siswa lebih aktif dalam penemuan sendiri akan konsep-konsep
matematika dan mengoptimalkan pemahaman
dan meningkatkan kreativitas dan Sebagai bahan informasi dalam mendesain bahan
ajar matematika yang berorientasi matematika yang berorientasi pada aktifitas
siswa.
3.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi guru-guru dalam pembelajaran jika menggunakan
pembelajaran model pencapaian konsep serta dapat berguna bagi pengembang
kurikulum matematika.
4.
Sebagai sumber informasi bagi sekolah perlunya merancang sistem
pembelajaran model pencapaian konsep
sebagai upaya mengatasi kesulitan belajar siswa guna meningkatkan hasil belajar
matematika siswa.
1.7. Definisi
Operasional
1. Model pembelajaran pencapaian konsep adalah suatu model pembelajaran yang menekankan pada pemahaman
konsep kepada siswa, guru mengawali pengajaran dengan menyajikan data atau
contoh dan yang bukan contoh, kemudian guru meminta siswa untuk mengamati data
atau contoh tersebut, dan siswa dibimbing agar mampu mengidentifikasi
ciri-ciri/ karakteristik dari contoh yang diberikan.
2. Pemahaman Konsep adalah: 1) Menyatakan
ulang sebuah konsep yaitu menyebutkan definisi berdasarkan ciri-ciri
esensial yang dimiliki oleh sebuah objek; 2) Mengklasifikasikan objek yaitu memberikan contoh dan
noncontoh serta menganalisis suatu objek menurut sifat-sifat/ciri-ciri sesuai dengan konsepnya; 3) Mengaplikasikan konsep yaitu Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi
matematis sebagai
suatu algoritma
pemecahan masalah
3. Kreativitas matematika adalah (1) Kelancaran (fluency)
yakni kemampuan untuk memberikan gagasan
atau langkah-langkah penyelesaian soal, dan jawaban tidak terputus-putus dan
benar. (2) Keluwesan atau
fleksibilitas (flexibility) yakni
kemampuan untuk menafsirkan suatu masalah dalam soal dan konsep atau asas yang akan digunakan dalam
mpenyelesaian soal, serta memberikan alternatif
penyelesaian lain dari yang biasanya. 3)
Originality (Kebaruan), indikator
yang akan diukur pada tingkat originality ini adalah: pertama, siswa mamapu
memperkaya dan mengembangkan sesuatu gagasan atau produk, dua, dapat
menambahkan atau memperinci detil-detil dari suatu objek, gagasan atau situasi
sehingga lebih menarik (Evans, 1991)
4. Pembelajaran konvensional yang dimaksud adalah suatu pola pembelajaran yang biasa diterapkan
dilapangan yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran dan
menggunakan buku paket, LKS yang disarankan untuk dimiliki.
5. Aktifitas
belajar adalah segala
bentuk kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa ketika proses pembelajaran dengan model pembelajaran pencapaian
konsep berlangsung.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1.
Pengertian Belajar dan Pembelajaran
Matematika
Menurut Slameto
(2003) “belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya”. Selanjutnya Winkel (1989) mengatakan “belajar adalah suatu
aktivitas psikis yang berlangsung dalam interaksi
aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam
pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan sikap”. Dari pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses aktivitas, proses mental, dan
proses berfikir yang terjadi dalam diri seseorang yang dilakukan secara sengaja
melalui pengalaman dan reaksi terhadap lingkunganya untuk memperoleh suatu
perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap, dan ketrampilan.
Selanjutnya
perolehan pengalaman seseorang itu
dari proses asimilasi dan akomodasi sehingga pengalaman yang lebih khusus ialah
pengetahuan yang tertanam dalam benak sesuai dengan skema yang dimiliki
seseorang (Ernest dalam Steffe, 1996). Assimilasi adalah proses kognitif
seseorang dalam mengintegrasikan informasi atau pengalaman baru ke dalam
skemata atau pola yang sudah ada dalam pikiranya. Sedangkan akomodasi adalah
penyesuaian pada skemata atau struktur kognitif manusia sebagai akibat dari
adanya informasi-informasi baru yang diserap (Depdiknas, 2005). Karena itu
belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata, sehingga
pengetahuan yang terdiri dari konsep-konsep dan prinsip-prinsip terkait satu
sama lain dan tidak sekedar tersusun hirarkis. Dengan kata lain belajar itu
harus melalui suatu proses menemukan proses membangun/mengkonstruksi
konsep-konsep dan prinsip-prinsip, proses memahami, tidak sekedar mentransfer
pengetahuan kepada seseorang yang terkesan pasif dan statis, namun belajar itu
harus aktif dan dinamis atau mengalami.
Kegiatan dan
usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku merupakan proses belajar, sedangkan
perubahan tingkah laku itu merupakan hasil belajar (Hudojo, 1988). Artinya
perubahan setelah belajar itu dapat dilihat dari prestasi belajar yang
dihasilkan oleh siswa, dalam menjawab pertanyaan atau persoalan yang ada serta
menyelesaikan tugas yang diberikan guru. Selanjutnya Oemar Hamalik (2003)
menyatakan hasil belajar adalah hasil yang dicapai melalui perbuatan belajar. Belajar
dikatakan berhasil bila terjadi perubahan dalam diri individu. Sebaliknya, bila
tidak terjadi perubahan dalam diri individu, maka belajar dikatakan tidak
berhasil (Djamarah, 2000). Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa
hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku atau kemampuan dalam diri siswa
berupa pengetahuan, sikap dan ketrampilan yaitu efektif, efesien dan mempunyai
daya tarik. Hasil belajar ini diperoleh siswa setelah mengikuti serangkaian
kegiatan pembelajaran sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Matematika
sebagai bahan pelajaran yang objek kajiannya berupa fakta, konsep, operasi, dan
prinsip yang abstrak, dalam mempelajarinya diperlukan kegiatan psikologis
seperti mengabstraksi dan mengklasifikasi. Mengabstraksi merupakan kegiatan
memahami kesamaan dari sejumlah objek atau situasi yang berbeda. Sedangkan
mengklasifikasi merupakan kegiatan memahami cara mengelompokkan objek atau
situasi berdasarkan kesamaanya. Hudojo (1980) mengemukakan bahwa matematika berkenaan
dengan ide-ide (gagasan-gagasan), struktur-struktur, dan hubungan-hubungannya
yang diatur secara logik sehingga matematika berkenan dengan konsep-konsep yang
abstrak. Soedjadi (1995) mengemukakan bahwa matematika sebagai ilmu dalam batas
tertentu disusun secara deduktif aksiomatik yang diawali dengan pernyataan
pangkal dan selanjutnya diturunkan sebagai teorema tertentu atau dilengkapi
dengan berbagai defenisi.
Belajar matematika adalah suatu proses psikologis berupa
kegiatan aktif dalam upaya seseorang untuk mengonstruksi, memahami atau
menguasai materi matematika agar tercapai tujuan belajar. Oleh karena itu
Freudenthal (1993) menyatakan bahwa konsep matematika tidak boleh diberikan
dalam bentuk jadi. Artinya konsep-konsep yang ada dalam matematika tidak boleh
dipindahkan langsung dari guru ke siswa sebab di dalamnya mengandung proses
abstraksi, dimana siswa harus dilibatkan dalam proses penemuan konsep. Siswa
dituntut menciptakan ide-ide, mencari hubungan-hubungan membentuk konsep. Pembelajaran
matematika akan lebih efektif bila guru
dapat menerapkan model mengajar, pendekatan mengajar, dan media mengajar itu
mengikut sertakan siswa secara aktif dalam menemukanpengetahuan sehingga
pengetahuan yang di peroleh itu menjadi bermakna (Ambarita, 2004). Dari penjelasan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah usaha
membantu siswa mengonstruksikan pengetahuan melalui proses yang dimulai dari
pengalaman dimana siswa harus aktif berinteraksi dengan lingkungan belajarnya
sehingga dapat membantu siswa memperoleh pemahaman yang lebih tinggi.
2.2.
Hakekat Pembelajaran
Matematika
Mengajarkan ilmu pengetahuan, termasuk matematika
mempunyai cara-cara yang sifatnya umum dan khusus. Keduanya harus mencakup
hakekat pemahaman kognitif, afektif dan psikomotor. Disamping itu, tidak kalah
pentingnya bagaimana mengkomunikasikan ide atau gagasan yang dikandung oleh
ilmu pengetahuan tersebut kepada orang lain. Karena pada dasarnya, pembelajaran
adalah proses menjadikan orang lain paham dan mampu menyebarkan apa yang
dipahaminya (Suherman dkk, 2003)
Belajar merupakan suatu proses
(aktivitas) mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif antara
seseorang (organisme) dengan lingkungannya yang menghasilkan
perubahan-perubahan tingkah laku, baik pengetahuan, pemahaman, keterampilan,
nilai atau sikap (Winkel, 1996). Belajar bukan hanya penguasaan hasil
latihan, bukan hanya suatu hasil
atau tujuan, bukan hanya mengingat
melainkan mengalami (Suryosubroto, 2002). Belajar juga
sebagai hasil pengalamannya sendiri (Slameto, 2003). Lebih lanjut, Hamalik
(2003) memberikan ciri-ciri belajar, yaitu: proses belajar harus mengalami,
berbuat, mereaksi dan melampaui; bermakna bagi kehidupan tertentu; dipengaruhi
oleh perbedaan-perbedaan individual; di bawah bimbingan yang merangsang dan
bimbingan tanpa tekanan dan paksaan; hasil-hasil belajar adalah pola-pola
perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi abilitas
dan keterampilan; serta bersifat kompleks dan dapat berubah-ubah, jadi tidak
sederhana dan statis.
Tujuan umum
pendidikan matematika dalam Kurikulum 2004 adalah setelah pembelajaran, siswa
ditekankan memiliki:(a) Kemampuan yang berkaitan dengan matematika
yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah matematika, pelajaran lain
ataupun masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata;
(b) Kemampuan
menggunakan matematika sebagai alat komunikasi; (c)
Kemampuan menggunakan matematika
sebagai cara bernalar yang dapat
dialihgunakan pada setiap keadaan, seperti berpikir kritis, berpikir logis,
berpikir sistematis, bersifat obyektif, bersifat jujur, bersifat disiplin dalam
memandang dan menyelesaikan masalah.Paparan di atas
menjelaskan bahwa hakekat pembelajaran matematika sesungguhnya mengacu kepada
usaha membuat siswa percaya bahwa matematika masuk akal dan bahwa mereka
sendiri dapat memahami konsep-konsep matematika. Dan guru dalam hal ini harus
percaya pada anak-anak dan memberi kesempatan pada mereka untuk terlibat secara
aktif dalam berfikir, berjuang menemukan ide-ide matematiknya.
2.3. Model Pembelajaran Pencapaian Konsep
Pada prinsipnya model pembelajaran pencapaian konsep adalah suatu model
mengajar yang menggunakan data untuk mengajarkan konsep kepada siswa, dimana
guru mengawali pengajaran dengan menyajikan data atau contoh, kemudian guru
meminta siswa untuk mengamati data tersebut. Model pencapaian konsep mula-mula
didesain oleh Joyce dan Weil (1972) yang didasarkan pada hasil riset Jerome
Bruner dengan maksud bukan saja didesain untuk mengembangkan berfikir induktif,
tetapi juga untuk menganalisis dan mengembangkan konsep.
Eggan dan Kauchak (1996) mengemukakan: “Model pencapaian konsep adalah
suatu strategi pembelajaran induktif yang didesain untuk membantu siswa pada
semua usia dalam mempelajari konsep dan melatih pengujian hipotesis”. Suherman
dan Saripuddin (2009) mengemukakan bahwa: “Salah satu keunggulan model pencapaian konsep adalah
untuk memahami (mempelajari) suatu
konsep dengan cara lebih efektif”.
Sukamto, dkk (Nurul wati, 2000) mengemukakan: “Maksud dari model
pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang istematis
dalam mengorganisasikan pengalaman
belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman
bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas
mengajar”. Model ini membantu siswa pada semua usia dalam memahami tentang
konsep dan latihan pengujian hipotesis. Model pencapaian konsep ini banyak
menggunakan contoh dan non contoh.
Ada tiga cara yang dapat dilakukan oleh guru dalam membimbing aktifitas
siswa yaitu: (a) Guru mendorong siswa untuk menyatakan pemikiran mereka dalam bentuk hipotesa, bukan dalam bentuk observasi ; (b) Guru menuntun jalan
pikiran siswa ketika mereka menetapkan apakah suatu hipotesis diterima atau
tidak; (c) Guru
meminta siswa untuk menjelaskan mengapa mereka menerima atau menolak suatu
hipotesis. Penggunaan model
pencapaian konsep dimulai dengan pemberian contoh-contoh penerapan konsep yang
diajarkan, kemudian dengan mengamati contoh-contoh diturunkan definisi dari
konsep-konsep tersebut. Hal yang paling utama diperhatikan dalam penggunaan
model ini adalah pemilihan contoh yang tepat untuk konsep yang diajarkan, yaitu
contoh tentang hal-hal yang akrab dengan siswa.
Ada dua tujuan dalam penerapan
pembelajaran model pencapain konsep yaitu: Pertama, tujuan isi,
tujuan isi model pencapaian konsep lebih efektif untuk memperkaya suatu konsep
daripada belajar (initial learning) dan
juga akan efektif dalam membantu siswa memahami hubungan-hubungan antara
konsep-konsep yang terkait erat dan digunakan dalam bentuk review (Eggen dan Kauchak, 1998). Dengan kata lain, penggunaan
model ini akan lebih efektif jika siswa sudah memiliki pengalaman tentang
konsep yang akan dipelajari itu, bukan siswa baru mempelajari konsep itu. Kedua,
Tujuan Pengembangan
Berpikir Kritis Siswa, model pencapaian konsep lebih memfokuskan pada
pengembangan berpikir kritis siswa dalam bentuk menguji hipotesis. Dalam
pembelajaran harus ditekankan pada analisis siswa terhadap hipotesis yang ada
dan mengapa hipotesis itu diterima, dimodifikasi, atau ditolak. Siswa harus
dilatih dalam menciptakan jenis-jenis kesimpulan, sepeti membuat contoh
penyangkal atau non contoh dan sebagainya.
Paparan di atas menjelaskan bahwa model pembelajaran konsep adalah suatu kerangka konseptual yang melukiskan
suatu prosedur yang sistematis yang dimulai
dengan memberikan contoh-contoh yang tepat dan contoh-contoh yang tidak
tepat. Model pencapaian konsep juga digunakan untuk memperoleh suatu sifat
esensial atau karakteristik yang dimiliki oleh sebuah objek dan berfungsi
sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam
merencanakan aktivitas mengajar.
2.3.1. Merencakan Pembelajaran Model Pencapaian Konsep
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
merancang pelajaran menggunakan model pencapaian konsep adalah sebagai berikut:
(1) menetapkan materi: dalam menerapkan model pencapaian konsep guru harus
menetapkan materi-materi yang akan diajarkan. Dalam hal ini bentuk materi
adalah konsep (bukan generalisasi, rumus, atau prinsip). Konsep yang akan
diajarkan itu sebaliknya bukan baru sama sekali bagi siswa. Perlu diketahui
bahwa model ini akan lebih efektif bila siswa yang akan diajarkan itu memiliki
beberapa pengalaman tentang konsep yang akan diajarkan. (2) pentingnya tujuan
pembelajaran: tujuan penggunaan model pencapaian konsep adalah untuk membantu
siswa mengembangkan konsep dan relasi-relasi antara konsep itu dan memberikan
latihan kepada mereka tentang proses berpikir kreatif terutama dalam perumusan
dan pengujian hipotesis; (3) memilih contoh dan non-contoh: faktor yang paling
penting dalam memilih contoh adalah mengidentifikasi contoh-contoh yang paling
baik mengilustrasikan konsep tersebut. Disamping itu, contoh yang dipilih juga harus dapat memperluas
pemikiran siswa tentang konsep yang diajari. Hal lain yang perlu diperhatikan
dalam memilih contoh adalah tidak memilih contoh yang terisolasi dari konteks.
Artinya contoh yang dipilih harus ada dalam lingkungan dimana siswa
beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari ataupun yang ada dalam jangkauan
pemikirannya. Selain memilih contoh positif , guru juga menyiapkan
contoh-contoh negatif atau non contoh. Dalam memilih contoh negatif ,
diupayakan merubah karakteristik esensial menjadi karakteristik non esensial
pada konsep yang akan diajarkan dan menyajikan semua hal-hal yang bukan
merupakan karakteristik esensial konsepit itu; (4) mengurutkan contoh: Setelah
memilih contoh dan non-contoh tugas akhir dalam merencanakan pelajaran adalah
bagaimana mengurutkan contoh dan non contoh itu, jika pengembangan berpikir
kreatif menjadi tujuan penting bagi
guru. Contoh-contoh itu harus diurutkan sedemikian sehingga para siswa mendapat
kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif mereka. Menunjukkan
secara cepat atau langsung makna dari konsep yang diajarkan, tidak memberi
kesempatan kepada siswa dalam melakukan analisis dan akibatnya tidak
menghasilkan pemahaman yang sangat dalam terhadap konsep yang dikaji.
Dalam mengurutkan contoh, guru dapat
melakukan dengan menyajikan dua atau lebih contoh positif kemudian diikuti dua
atau lebih contoh negatif (non- contoh). Kunci untuk memahami strategi-strategi yang digunakan siswa untuk mencapai
konsep adalah menganalisis bagaimana mereka mendekati informasi yang tersedia
dalam contoh-contoh yang disediakan guru. Ada dua cara yang dapat kita gunakan
untuk mengamati dan memperoleh informasi tentang strategi yang digunakan siswa
untuk mencapai konsep, yaitu: (1) setelah suatu konsep dicapai, kita dapat
meminta mereka menceritakan pemikirannya agar latihan terus berlangsung. Misalnya,
dengan menggambarkan gagasan yang mereka munculkan, sifat apa yang mereka
fokuskan, dan modifikasi apa yang mereka
buat. Hal ini dapat membimbing mereka pada suatu diskusi di mana mereka dapat
menemukan strategi-strategi yang lain dan bagaimana penerapan strategi
ini; (2) kita dapat meminta siswa untuk menulis
hipotesis mereka. Setelah
itu, mereka diminta menyerahkan pada kita suatu catatan yang dapat kita
analisis.
Siswa bekerja secara
berpasangan untuk membentuk hipotesis-hipotesis pada pasangan contoh-contoh
(satu positif dan satu negatif) yang telah disajikan untuk mereka. Mereka
mencatat hipotesis mereka, perubahan-perubahan yang mereka buat, dan
alasan-alasan yang mereka kemukakan. Siswa yang bekerja secara holistik, secara
seksama akan menghasilkan hipotesis ganda dan secara bertahap akan
menghilangkan hipotesis yang tak dapat dipertahankan. Siswa yang memilih satu
atau dua hipotesis dalam awal-awal pengamatan perlu mengubah contoh-contoh
secara terus-menerus dan meninjau ulang atau merevisi gagasan mereka agar
mencapai konsep sifat ganda yang menjadi tujuannya.
Menurut Joyce (2009; 136),
langkah-langkah model pembelajaran pencap aian konsep terdiri dari 3 fase yang disajikan pada tabel 2.1. berikut.
Tabel 2.1. Struktur Pengajaran Model Pencapaian Konsep
Tahap
Pertama:
Penyajian
Data dan Identifikasi Konsep
|
Tahap
Kedua:
Pengujian
Pencapaian Konsep
|
Guru menyajikan
contoh-contoh yang telah dilabeli
|
Siswa
mengidentifikasi contoh-contoh tambahan yang tidak dilabeli dengan tanda Ya
dan Tidak
|
Siswa
membandingkan sifat-sifat/ciri-ciri dalam contoh -contoh positif dan contoh-
contoh negative
|
Guru menguji
hipotesis, menamai konsep, dan menyatakan kembali definisi-definisi menurut
sifat-sifat/ ciri-ciri yang paling esensial
|
Siswa
menjelaskan sebuah definisi menurut sifat-sifat/ciri-ciri yang paling
esensial
|
Siswa membuat
contoh-contoh
|
Tahap Ketiga
Analisis Strategi-Strategi Berpikir
|
|
Siswa mendeskripsikan pemikiran-pemikiran
Siswa mendiskusikan peran sifat-sfat dan
hipotesis-hipotesis
Siswa mendiskusikan jenis dan
ragam hipotesis
|
Pada tahap pertama, siswa diberikan contoh dan
noncontoh. Contoh diberikan kepada siswa bertujuan untuk memberikan pengenalan
kepada siswa tentang konsep dari suatu objek berdasarkan ciri esensial yang
dimiliki oleh suatu objek, sedangkan noncontoh diberikan agar siswa dapat
menemukan cisi esensial yang lebih spesifik dari suatu objek. Pada tahap kedua, siswa menguji penemuan
konsep mereka, pertama-tama dengan mengidentifikasi secara tepat contoh-contoh
tambahan yang tidak dilabeli dari konsep itu dan kemudian dengan membuat
contoh-contoh mereka. Setelah itu, guru (dan siswa) dapat membenarkan atau
tidak membenarkan hipotesis mereka, merevisi pilihan konsep atau sifat-sifat
yang mereka tentukan sebagaimana mestinya.
Pada
tahap ketiga, siswa mulai menganalisis strategi-strategi dengan segala hal yang
mereka gunakan untuk mencapai konsep. Ada beberapa siswa yang pada mulanya mencoba
konstruk-konstruk yang luas dan secara bertahap mempersempit konstruk-konstuk
itu; ada pula yang memulai dengan konstruk-konstruk yang lebih berbeda.
Pembelajar dapat menggambarkan pola-pola mereka
apakah mereka focus pada ciri-ciri atau konsep-konsep, apakah mereka
melakukannya sekaligus dalam satu waktu atau beberapa saja, dan apa yang
terjadi ketika hipotesis mereka tidak dibenarkan.
Sebelum
mengajar dengan model pencapaian konsep, sistim sosial dalam model pembelajaran ini adalah
sebagai berikut: (a) kegiatan guru: guru atau pengajar mempunyai tanggung jawab memilih atau menentukan konsep, serta operasi
dari bangun ruang sisi datar yang harus dipelajari oleh siswa. Selanjutnya adalah mempersiapkan contoh-contoh dan
non-contoh serta mengumpulkan ide-ide dari berbagai sumber, serta mendesain
sedemikian rupa sehingga ciri-ciri masing-masing contoh dan non-contoh terlihat dengan jelas; (b) kegiatan siswa: dalam
kegiatan pembelajaran dengan model
pencapaian konsep, para siswa harus aktif mengamati contoh-contoh yang
diberikan guru. Dalam pengamatan ini siswa harus mendata atau mengidentifikasi
ciri-ciri dari contoh-contoh yang diberikan, untuk selanjutnya membuat suatu
hipotesa. Dalam melaksanakan peran ini para siswa dapat bekerja sama dalam satu
kelompok kecil, atau bekerja secara
individu.
2.3.2. Tingkat-tingkat Pencapaian Konsep
Mungkin kita pernah mengalami, ketika seseorang
bertanya kepada kita tentang konsep sesuatu kata, kita dapat menghubungkan kata
itu kedalam suatu konsep-konsep yang lain, bahkan kita dapat menghubungkannya
ke dalam suatu kalimat namun kita tidak dapat mendefinisikannya kedalam suatu
kata atau kalimat yang formal. Klausmeier (Dahar, 1996)
menghipotesiskan bahwa ada Empat tingkat pencapaian konsep, yaitu: (1). tingkat konkret ditandai dengan adanya
pengenalan anak terhadap suatu benda yang pernah ia kenal. Contohnya pada saat
anak bermain kelereng kemudian pada waktu dan tempat yang berbeda ia menemukan lagi kelereng, lalu ia bisa
mengidentifikasi bahwa itu adalah kelereng maka anak tersebut sudah mencapai
tingkat konkret; (2) Tingkat identitas, Pada
tingkat ini
seseorang dapat dikatakan telah mencapai tingkat konsep identitas apabila ia
mengenal suatu objek setelah selang waktu tertentu. Misalnya mengenal
kelereng dengan cara memainkannya, bukan hanya dengan melihatnya lagi; (3)
Tingkat klasifikatori, pada tingkat ini anak sudah mampu mengenal persamaan
dari contoh yang berbeda tetapi dari kelas yang sama. Misalnya anak mampu
membedakan antara apel yang masak dengan apel yang mentah; (4) Tingkat formal pada
tingkatan ini
anak sudah mampu membatasi suatu konsep dengan konsep lain, membedakannya,
menentukan ciri-ciri, memberi nama atribut yang membatasinya, bahkan sampai
mengevaluasi atau memberikan contoh secara verbal. Untuk mengetahui hubungan
antara pemahaman konsep dengan tingkat-tingkat pencapaian konsep dengan
komponen utama model pencapaian konsep dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini
Table 2.2. Hubungan Antara Pemahaman Konsep Dengan Tingkat-Tingkat Pencapaian
Konsep Dengan Komponen Utama Model Pencapaian Konsep
Pemahaman Konsep
|
Fase Model Pencapaian
Konsep
|
Tinkat pencapaian
konsep
|
v Mengklasifikasikan objek menurut
sifat-sifat tertentu sesuai dengan konsepnya
v Menyajikan konsep dalam berbagai
bentuk representasi matematis
|
Fase Penyajian data dan identifikasi konsep
|
v Tingkat konkret
v Tingkat identitas
|
v menyatakan ulang sebuah konsep
v Memberikan contoh dan non contoh
dari konsep
v Mengembangkan syarat perlu atau
syarat cukup dari suatu konsep
|
Fase Pengujian pencapaian konsep
|
v Tingkat klasifikatori
|
v Mengembangkan syarat perlu atau
syarat cukup dari suatu konsep
v Mengaplikasikan konsep atau algoritma
pemecahan masalah
|
fase Analisis strategi berfikir
|
v Tingkat formal
|
2.3.3. Penerapan
Model Pencapain Konsep
Pencapaian konsep merupakan “ proses
mencari dan mendaftar sifat-sifat yang dapat digunakan untuk membedakan
contoh-contoh yang tepat dengan contoh-contoh yang tidak tepat dari berbagai
kategori “ (Bruner, Gordon, dan Austin, dalam Bruce Joice, 2009;125). Pembelajaran
model pencapaian konsep terdiri dari tiga fase yaitu: Fase 1 : Penyajian Contoh,
Sebelum memasuki fase ini terlebih dahulu guru memberi pengantar tentang
prosedur yang digunakan pada model pencapaian konsep ini, terutama kepada siswa
yang masih kurang pengalaman. Dalam pengenalan ini, guru dapat menggunakan
materi-materi sederhana pada kesempatan yang pertama. Setelah siswa memahami
prosedur yang berlaku pada model ini, guru dapat memasuki materi yang
sesungguhnya untuk dibahas dengan menggunakan model pencapaian konsep. Setelah aktivitas
pengenalan selesai pembelajaran diawali dengan penyajian contoh atau non-contoh
yang bertujuan untuk menyediakan data bagi siswa untuk mengawali proses
penciptaan hipotesis. Pemakaian non-contoh jelas berbeda dengan menggunakan
contoh, pemakaian mencontoh dirancang untuk menyajikan adanya kemungkinan-kemungkinan
hipotesis secara terbuka; Fase 2 :
Pengujian Pencapaian konsep, Setelah penyajian satu contoh atau lebih guru
meminta siswa untuk menguji penemuan konsep mereka yaitu dengan mengidentifikasikan
secara tepat contoh-contoh tambahan yang tidak dilabeli dari konsep itu dan
kemudian dengan membuat contoh-contoh mereka sendiri. Setelah itu guru dan
siswa dapat membenarkan atau tidak hipotesis mereka tentuikan sebagaimana
mestinya yang memungkinkan kategori-kategori (nama-nama konsep)
diilustrasikan dengan contoh positif.
Sebagai contoh ; Misalkan seorang guru akan mengajarkan konsep bujur sangkar,
guru tersebut kemudian memberikan gambar kepada siswa untuk selanjutnya meminta
kepada siswa untuk menyusun hipotesis berkenaan dengan gambar tersebut. Proses
dalam fase 1 dan fase 2 dapat diringkas dalam langkah-langkah sebagai berikut :
Guru menyajikan contoh positif dan negatif, Siswa menguji contoh-contoh dan
menghasilkan hipotesis, Guru
menyajikan tambahan contoh positif dan contoh negatif, Siswa menganalisis
hipotesis dan menghilangkan hal-hal yang tidak didukung oleh data
(contoh-contoh), Siswa menawarkan hipotesis tambahan jika data yang ada
mendukung, Proses menganalisis hipotesis, menghilangkan data yang tidak valid
dengan menggantikannya dengan contoh-contoh baru, dan penawaran hipotesis
tambahan diulangi hingga satu hipotesis diterima. Fase 3 : Analisis Stategi Berpikir, Pada tahap ini siswa diwajibkan
mengemukakan hasil yang telah dikerjakan. Disini guru bersama-sama siswa
menganalisa strategi berpikir yang telah digunakan para siswa dalam menerapkan
konsep atau operasi yang telah dipelajari untuk memecahkan masalah. Ketika
siswa telah mampu memisahkan hipotess yang didukung oleh semua contoh dengan
hipotesis yang tidak didukung oleh contoh, siswa mulai mengalalisis strategi-strategi dengan segala hal yang
mereka gunakan untuk mencapai konsep. Dari penjelasa diatas, secara gamblang
langkah-langkah Pengajaran Model pencapaian konsep dapat kita amati seperti
pada tabel 2.3. dan 2.4. berikut:
Tabel 2.3. Langkah-langkah
Pembelajaran Model Pencapaian Konsep
untuk pemahaman konsep matematika siswa
Kegiaatan
Pengajar
|
Tahapan
|
Kegiatan Peserta
Didik
|
Guru mensajikan contoh-contoh yang telah
dilabeli
Menyuruh siswa membandingkan sifat atau
ciri yang terkandung dalam contoh dan non-contoh.
Meminta siswa menjelaskan definisi
menurut sifat atau ciri yang esensial.
|
|
Mengamati contoh berlabel yang disajikan
oleh guru.
Membandingkan sifat atau ciri yang terkandung
dalam contoh dan non-contoh.
Siswa menjelaskan definisi menurut sifat
atau ciri yang paling esensial
|
Memeberikan contoh tidak berlabel dan
menyuruh siswa mengidentifikasinya.
Menguji hipotesis, menanamkan konsep, dan
menyatakan kembali definisi-definisi menurut sifat atau ciri yang paling
esensial
Minta siswa membuat contoh lain
.
|
Mengidentifikasi contoh-contoh yang tidak
berlabel dengan memberikan tanda Ya
dan Tidak
Memberikan nama konsep untuk setiap
contoh yang tidak berlabel sesuai dengan ciri atau sifat yang paling esensial
Memebuat contoh yang alain
|
|
Tanya mengapa/bagaimana
demikian
Memimbing siswa untuk berdiskusi.
|
Mengungkapkan hasil pemikiran sendiri
Melakukan diskusi dari keaneka ragaman
hasil pemikiran.
|
Tabel 2.4. Langkah-langkah
Pembelajaran Model Pencapaian Konsep
untuk kreativitas matematika siswa
Kegiaatan
Pengajar
|
Tahapan
|
Kegiatan Peserta
Didik
|
Mensajikan contoh konsep yang
kerkait dengan konsep materi
Meminta dugaan konsep yang
terkait dengan contoh.
Meminta siswa menjelaskan definisi
menurut sifat atau ciri yang esensial.
|
|
Memahami konsep yang terkandung
dalam contoh.
Mengajukan dugaan yang
terkandung dalam contoh.
Memberikan definisi menurut
sifat atau ciri esensial yang dikandung contoh
|
Memeberikan contoh lain untuk ditelusuri konsepnya
oleh siswa.
Minta siswa membuat contoh lain serta meminta nam konsepnya.
|
Mengidentifikasi contoh dan menemukan konsep yang
dimiliki contoh
Memebuat contoh yang alain dan memberi nam konsepnya
|
|
Tanya mengapa/bagaimana
demikian
Memimbing siswa untuk berdiskusi.
|
Mengungkapkan hasil pemikiran sendiri
Melakukan diskusi dari keaneka ragaman
hasil pemikiran.
|
2.4. Pemahaman Konsep Matematika
Untuk
mengambil kesimpulan dari pengertian pemahaman konsep dalam penelitian ini, ada
baiknya terlebih dahulu kita tinjau tentang pengertian konsep, pengertian
pemahaman konsep, pencapaian konsep dan pemahaman matematika.
2.4.1. Pengertian Konsep
Pengertian konsep secara tegas dijelaskan oleh Rosser
(1984) dalam Dahar (1988:80), yaitu: konsep
adalah suatu abstraksi yang mewakili kelas objek-objek,
kejadian-kejadian, kegiatgan-kegiatan, atau hubungan-hubungan yang mempunyai
atribut yang sama. Pengertian konsep yang lain dapat didefinisikan kedalam
beberapa rumusan dimana konsep diperoleh dari pengalaman-pengalaman yang
mengalami abstraksi yang didefinisikan salah satu rumusan. Hal ini sebagaimana
yang dijelaskan oleh corrol dalam kardi (1997) dalam irwan, (2009:26) adalah:
“Konsep merupakan suatu bentuk absraksi dari serangkaian pengalaman yang
didefinisikan sebagai suatru kelompok objek atau kejadian. Abstraksi berarti
suatu proses pemusatan perhatian seseorang pada situasi tertentu dan mengambil
elemen-elemen tertentu, serta mengabaikan elemen-elemen yang lain”.
Dalam bagian lain, secara singkat Dahar (1988:81)
menyimpulkan bahwa suatu konsep merupakan suatu abstraksi yang memiliki suatu
kelas stimulus-stimulus. Suatu konsep telah dipelajari bila siswa dapat
menampilkan perilaku-perilaku tertentu. Dari penjelasan diatas, tidak ada satu
definisipun yang dapat menjelaskan makna dari suatu konsep dan jenis-jenis dari
suatu konsep yang diperoleh siswa, konsep-konsep tersebut merupakan hasil
penyajian internal dari sekelompok stimulus, konsep-konsep tidak dapat diamati
dan dilihat, tetapi harus disimpulkan dari setiap perilaku.
Konsep
dapat didefenisikan dengan bermacam-macam rumusan. Salah satunya adalah
defenisi yang dikemukakan Carrol dalam Kardi (1997: 2) bahwa konsep merupakan
suatu abstraksi dari serangkaian pengalaman yang didefinisikan sebagai suatu
kelompok obyek atau kejadian. Abstraksi berarti suatu proses pemusatan
perhatian seseorang pada situasi tertentu dan mengambil elemen-elemen tertentu,
serta mengabaikan elemen yang lain. Tidak ada satu pun definisi yang dapat
mengungkapkan arti yang kaya dari konsep atau berbagai macam konsep-konsep yang
diperoleh para siswa. Oleh karena itu konsep-konsep itu merupakan penyajian
internal dari sekelompok stimulus, konsep-konsep itu tidak dapat diamati, dan
harus disimpulkan dari perilaku.
Menurut Arends (2008: 324), belajar
konsep (Concept leaarning) pada dasarnya adalah `meletakkan berbagai macam
hal ke dalam golongan-golongan` dan setelah itu mampu mengenali anggota-anggota
golongan itu”. Konsep-konsep
merupakan, kategori-kategori yang kita berikan pada stimulus-stimulus yang ada
di lingkungan kita. Konsep-konsep menyediakan skema-skema terorganisasi untuk
mengasimilasikan stimulus-stimulus baru, dan untuk menentukan hubungan di dalam
dan di antara kategori-kategori. Seperti
yang terdapat dalam salah satu pernyataan dalam teori
Ausubel adalah ‘bahwa faktor yang paling penting yang mempengaruhi pembelajaran
adalah apa yang telah diketahui siswa (pengetahuan awal). Jadi supaya belajar
jadi bermakna, maka konsep baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang ada
dalam struktur kognitif siswa. Ausubel belum menyediakan suatu alat atau cara
yang sesuai yang digunakan guru untuk mengetahui apa yang telah diketahui oleh
para siswa (Dahar, 1988: 149). Berkenaan dengan itu Novak dan Gowin (1985)
mengemukakan bahwa cara untuk mengetahui konsep-konsep yang telah dimiliki
siswa, supaya belajar bermakna berlangsung dapat dilakukan dengan pertolongan
peta konsep. Dari pemaparan di atas
dapat disimpulkan bahwa Konsep merupakan suatu
abstraksi dari serangkaian pengalaman yang didefinisikan sebagai suatu kelompok
obyek atau kejadian yang dapat
memunculkan sebuah rumusan.
2.4.2. Pengertian Pemahaman Konsep
Sebagaimana telah dinyatakan diatas bahwa, suatu konsep
dapat diartikan sebagai suatu absrakasi mental yang mana abstraksi mental
tersebut memiliki kelas-kelas stimulus, sehingga suatu konsep itu telah
dipelajari jika siswa dapat menampilkan perilaku-perilaku tertentu (Dahar,
1988:81). Sekarang kita ingin mengetahui tentang pengertian pemahaman konsep. Pemahaman konsep adalah kekuatan yang terkait
antara informasi yang terkandung pada konsep yang dipahami dengan skema yang
telah dimiliki sebelumnya Hiebert (dalam Tim PLPG 2008:42). Suatu konsep, prosedur, dan fakta dapat dipahami oleh siswa secara
menyeluruh, bila objek matematika tersebut dihubungkan dengan jaringan-jaringan
yang ada maka keterkaitan antara objek tersebut makin lebih kuat dan banyak.
Dengan demikian tingkat pemahaman konsep siswa dapat ditentukan oleh banyaknya
jaringan informasi yang telah dimiliki. Menurut Costa bahwa “Seorang siswa
apabila dirinya sudah memahami konsep, artinya konsep tersebut sudah tersimpan
dalam pikirannya berdasarkan pola-pola tertentu yang dibutuhkan oleh siswa
untuk ditetapkan dalam pikiran mereka sendiri sebagai ciri dari kesan mental
untuk membuat suatu contoh konsep dan membedakan contoh dan non contoh (Fikriam, 2009). Konsep dipelajari melalui contoh dan bukan contoh. Mempelajari
konsep tentu melibatkan mengidentifikasi contoh dan bukan contoh untuk konsep
itu (Arends, 2008: 325).
Oleh karena itu dalam proses pembelajaran tentang konsep
haruslah disertai oleh contoh dan juga memperlihatkan yang bukan contoh dari
konsep itu. Kegiatan belajar dipandang tidak hanya sejauh mengenalkan suatu
pengetahuan yang baru kepada siswa, tetapi juga sebagai suatu upaya untuk
memberdayakan serta memperkuat pengetahuan yang sudah dimiliki siswa. Dalam proses belajar tersebut perlu
disediakan aktivitas untuk memberdayakan pengetahuan yang sudah dimiliki itu
agar siswa memahami dan menguasai pengetahuan yang baru, sekaligus memperkokoh
pengetahuan yang sudah ada sebelumnya pada siswa. Karena siswa akan menjalani
suatu proses yang memampukannya membangun pengetahuannya dengan bantuan
fasilitas dari guru, maka keterlibatannya dalam proses belajar haruslah nampak.
Sementara Bansul Ansari mengemukakan bahwa: Tiap-tiap konsep atau prinsip dalam
matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan
baik, ini mengandung arti bahwa
benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila
dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika (wangmuba, 2009). Jadi siswa dituntut lebih aktif,
sehingga mampu mengetahui asal muasal dari konsep yang di hasilkan.
Berdasarkan kurikulum 2004 Depdiknas (2003:20)
menyatakan bahwa “………beberapa kemampuan yang perlu diperlihatkan dalam
penilaian matematika adalalah pemahaman konsep yang meliputi kemampuan
mendefinisikan konsep, mengidentifikasi konsep, dapat memberikan contoh yang
bukan dari konsep”. Dalam K urikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) juga
menyatakan agar guru senantiasa mengarahkan aktivitas belajar matematika di
sekolah pada pencapaian standar kompetensi, yang meliputi: (1) memahami dan
menerapkan konsep, prosedur, prinsip, teorema, dan ide matematika.; (2)
menyelesaikan masalah matematika (mathematical problem solving); (3) melakukan
penalaran matematika (mathematical reasoning), (4) melakukan koneksi matematika
(mathematical connection); (5) melakukan komunikasi matematika (mathematical
communication).
Sa’dijah (2006) mejelaskan bahwa setidaknya ada tujuh
indikator pemahaman konsep matematika yang dapat dilihat oleh siswa,
indicator-indikator tersebut meliputi: 1) menyatakan ulang sebuah konsep; (2)
mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan sifat-sifat tertentu (sesuai dengan
konsepnya); (3) memberikan contoh dan non-contoh dari konsep; (4) menyajikan
konsep dalam berbagai bentuk representative matematis; (5) mengembangkan syarat
perlu atau syarat cukup suatu konsep; (6) menggunakan, memanfaatkan, dan
memilih prosedur atau operasi tertentu, 7) mengaplikasikan konsep atau
algoritma pemecahan masalah. Dari
pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep adalah kekuatan yang
terkait antara informasi yang terkandung pada konsep yang dipahami dengan skema
yang telah dimiliki sebelumnya yang memerlukan kemampuan untuk menyatakan ulang
sebuah konsep, mengklasifikasikan objek-objek
berdasarkan sifat-sifat tertentu, memberikan contoh dan non-contoh dari konsep, menyajikan konsep
dalam berbagai bentuk representative matematis, mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup
suatu konse, menggunakan dan memanfaatkan serta memilih prosedur atau operasi tertentu, dan mengaplikasikan
konsep atau algoritma pemecahan masalah.
Sebagaimana telah dikemukakan pada tinjauan teori diatas
bahwa konsep merupakan suatu abstraksi dari serangkaian pengalaman yang
didefinisikan sebagai suatu kelompok obyek atau kejadian (Dahar, 1988).
Sementara itu pemahaman konsep adalah
kekuatan yang terkait antara informasi yang terkandung pada konsep yang
dipahami dengan skema yang telah dimiliki sebelumnya Hiebert (dalam Tim PLPG
2008:42). Suatu konsep, prosedur, dan fakta dapat
dipahami oleh siswa secara menyeluruh, bila objek matematika tersebut
dihubungkan dengan jaringan-jaringan yang ada maka keterkaitan antara objek
tersebut makin lebih kuat dan banyak. Dengan demikian tingkat pemahaman konsep
siswa dapat ditentukan oleh banyaknya jaringan informasi yang telah dimiliki. Menurut Costa
bahwa “Seorang siswa apabila dirinya sudah memahami konsep, artinya
konsep tersebut sudah tersimpan dalam pikirannya berdasarkan pola-pola tertentu
yang dibutuhkan oleh siswa untuk ditetapkan dalam pikiran mereka sendiri
sebagai ciri dari kesan mental untuk membuat suatu contoh konsep dan membedakan
contoh dan non contoh (Fikriam,
2009). Konsep dipelajari melalui contoh dan bukan contoh.
Mempelajari konsep tentu melibatkan mengidentifikasi contoh dan bukan contoh
untuk konsep itu (Arends, 2008: 325).
Pada petunjuk teknis peraturan
Dirjen Dikdasmen Depdiknas No:506/C/PP/2004 tanggal 11 November 2004 (dalam Tim
PPPG Matematika, 2005) tentang penilaian perkembangan anak didik SMP
dicantumkan indikator dari kemampuan pemahaman komsep sebagai hasil belajar
matematika. Indikator tersebut adalah: 1) Menyatakan
ulang sebuah konsep; 2) Mengklasifikasikan
objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan konsepnya; 3) Memberikan contoh dan non contoh
dari konsep;
4) Menyajikan konsep
dalam berbagai bentuk representasi matematis; 5) Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep; 6) Menggunakan, memanfaatkan, dan
memilih prosedur tertentu; 7) Mengaplikasikan
konsep atau algoritma pemecahan masalah.
Dalam penelitan
ini yang menjadi indikator pemahaman konsep adalah
1.
Menyatakan ulang sebuah
konsep
yaitu menyebutkan definisi berdasarkan
ciri-ciri esensial yang dimiliki oleh sebuah objek.
2.
Mengklasifikasikan objek
yaitu memberikan
contoh dan noncontoh serta menganalisis suatu objek menurut sifat-sifat/ciri-ciri sesuai dengan konsepnya.
3.
Mengaplikasikan konsep yaitu Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis sebagai suatu algoritma pemecahan masalah
2.5.
Kreativitas Matematika
Kreativitas
merupakan kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru dan menerapkannya
dalam pemecahan masalah (Semiawan dalam
Akbar, 2001). Sedangakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa kreativitas
adalah kemampuan untuk mencipta; daya cipta pekerjaan yang menghendaki
kecerdasan dan imajinasi. Dengan demikian anak yang kreatif cenderung untuk
menemukan cara atau ide baru yang lebih efektif dan mudah untuk dilakukan dalam
pemecahan suatu masalah. Kreativitas merupakan
konstruk payung sebagai produk kreatif dari individu yang kreatif, memuat
tahapan proses berpikir kreatif, dan lingkungan yang kondusif untuk
berlangsungnya berpikir kreatif (Puccio dan Murdock dalam Sumarmo: 2010). Jadi kreativitas
adalah kemampuan menghasilkan suatu pekerjaan atau hasil karya yang baru dan
bermanfaat dari orang yang kreatif. Selain itu, kreativitas juga menjadi topik
yang penting untuk membedakan individu dalam level sosialnya dalam penyelesaian
suatu tugas. Semua ahli yang mendalami kreativitas sependapat bahwa novelty
merupakan komponen utama dalam kreativitas, novelty ini merupakan keaslian dan
ide yang benar-benar baru serta merupakan penggabungan dari dua hal ataupun dua
pemikiran atau lebih (Matlin 1998).
Lebih lanjut Utami Munandar (dalam Akbar 2001: 4) mengatakan dalam uraiannya tentang
pengertian kreativitas menunjukkan ada tiga tekanan kemampuan, yaitu berkaitan
dengan kemampuan untuk mengkombinasi, memecahkan/ menjawab masalah, dan
cerminan kemampuan operasional anak kreatif. Ketiga tekanan tersebut adalah
sebagai berikut: (1) kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data,
informasi, atau unsur-unsur yang ada; (2) kemampuan berdasarkan data atau informasi
yang tersedia, menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah,
dimana penekanannya adalah pada kuantitas, ketepatgunaan, dan keragaman
jawaban; (3) kemampuan yang secara operasional mencerminkan kelancaran,
keluwesan, dan orisinilitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi
(mengembangkan/ memperkaya/ merici suatu gagasan). Lebih lanjut Musbikin (dalam
Sumarmo, 2010) mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan menyusun idea,
mencari hubungan baru, menciptakan jawaban baru atau yang tak terduga,
merumuskan konsep yang tidak mudah diingat, menghasilkan jawaban baru dari
masalah asal, dan mangajukan pertanyaan baru. Memperhatikan karakteristik yang
termuat dalam berpikir kreatif, maka dapat dipahami bahwa berpikir kreatif dalam
matematika dan dalam bidang lainnya merupakan bagian keterampilan hidup yang
perlu dikembangkan terutama dalam menghadapi era informasi dan suasana bersaing
semakin ketat. Individu yang diberi kesempatan berpikir kreatif akan tumbuh
sehat dan mampu menghadapi tantangan. Sebaliknya, individu yang tidak
diperkenankan berpikir kreatif akan menjadi frustrasi dan tidak puas.
Supriadi (2001:7) menyimpulkan bahwa
pada intinya kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu
yang baru baik berupa gagasan maupun karya nyata, yang relatif berbeda dengan
apa yang telah ada sebelumnya. Berdasarkan pengertian di atas terlihat bahwa
kreativitas menekankan pada ide atau pemikiran dan penemuan yang mendatangkan
hasil yang baru atau relatif baru yang berkisar pada berpikir kreatif dan hasil
kreatif. Berdasarkan uraian definisi diatas dapat dikemukakan bahwa kreativitas
merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa
gagasan maupun karya nyata, baik dalam bentuk ciri-ciri aptitude maupun non
aptitude, baik dalam karya baru maupun kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada,
yang semuanya itu relatif berbeda dengan yang telah ada sebelumnya.
Ada dua pandangan tentang kreativitas. Pandangan pertama disebut
pandangan kreativitas jenius. Menurut
pandangan ini tindakan kreatif dipandang sebagai ciri-ciri mental yang langka,
yang dihasilkan oleh individu luar biasa berbakat melalui penggunaan proses
pemikiran yang luar biasa, cepat, dan spontan. Pandangan ini mengatakan bahwa
kreativitas tidak dapat dipengaruhi oleh pembelajaran dan kerja kreatif lebih
merupakan suatu kejadian tiba-tiba daripada suatu proses panjang sampai selesai
seperti yang dilakukan dalam sekolah. Jadi dalam pandangan ini ada batasan
untuk menerapkan kreativitas dalam dunia pendidikan. Pandangan pertama ini
telah banyak dipertanyakan dalam penelitian-penelitian terbaru, dan bukan lagi
merupakan pandangan kreativitas yang dapat diterapkan kepada pendidikan.
Pandangan kedua merupakan pandangan baru kreativitas yang muncul dari
penelitian-penelitian terbaru — bertentangan dengan pandangan jenius. Pandangan
ini menyatakan bahwa kreativitas berkaitan erat dengan pemahaman yang mendalam,
fleksibel di dalam isi dan sikap, sehingga dapat dikaitkan dengan kerja dalam
periode panjang yang disertai perenungan. Jadi kreativitas bukan hanya
merupakan gagasan yang cepat dan luar biasa. Menurut pandangan ini kreativitas
dapat ditanamkan pada kegiatan pembelajaran dan lingkungan sekitar
(Silver,1997) dalam (Enden Mina, 2006:8).
Tujuh sikap kreatif pada orang-orang yang kreatif,
yaitu: terbuka terhadap pengalaman baru dan luar biasa, luwes dalam berpikir
dan bertindak, bebas dalam mengekspresikan diri, dapat mengapresiasi fantasi,
berminat pada kegiatan-kegiatan kreatif, percaya pada gagasan sendiri, dan
mandiri (Munandar 1997). Diartikan
secara luas kepribadian kreatif meliputi sikap, motivasi, minat, gaya berpikir
dan kebiasaan-kebiasaan dalam berprilaku. Selanjutnya, potensi kreativitas dapat diukur
melalui beberapa pendekatan yakni pengukuran langsung; pengukuran tidak
langsung, dengan mengukur unsur-unsur yang memadai ciri tersebut; pengukuran
ciri kepribadian yang berkaitan erat dengan ciri tersebut; dan beberapa jenis
pengukuran non-test” (Munandar
2009:58). Sejumlah tes kreativitas telah disusun dan digunakan, diantarannya
tes dari Torrance untuk mengukur pemikiran kreatif (Torrance Test of Creative
Thingking:TTCT). Soal-soal yang digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir
kreatif umum, diperkenalkan pertama kali oleh peneliti Amerika yaitu Guilford
(1959) dan Torrance (1969) pada tahun 50-an dan tahun 60-an. Dalam soal jenis
ini diberikan cerita open-ended yaitu
cerita yang menghasilkan banyak jawaban benar. Soal-soal matematika yang
mengizinkan siswa untuk memperlihatkan proses berpikir divergen atau kreatif
telah banyak dikembangkan oleh para peneliti (Pehkonen, 1992, Singh, 1992).
Batasan
lain tentang kreativitas disampaikan oleh Conny R Semiawan (1992 : 26)
bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk memberikan gagasan baru dan menerapkannya
dalam pemecahan masalah. Konsep Kreativitas menurutnya dibedakan menjadi 4
ranah ,yaitu : (1) afektif , (2) psikomotorik, (3) kognitif, dan (4) intuitif.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa perkembangan kreativitas individu akan
berkembang secara optimal jika individu itu memiliki bakat, dengan ditandai
oleh tingkah laku yang kreatif, interaksi dan interpretasi dari dimensi rasio,
intuisi, emosi dan bakat khusus yang terpadu sehingga menghasilkan produk
tertentu yang berguna. Soal-soal yang digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif adalah soal jenis
open-ended yaitu soal cerita yang menghasilkan banyak jawaban benar (Torrance,
1969).
Indikator
kreativitas yang akan dikaji dalam penelitian ini untuk menyatakan siswa kreatif
apabila memenuhi tiga hal, yaitu: 1)
Fluency (kelancaran), indikator yang
akan diukur pada tingkat fluency ini adalah pertama
apabila siswa telah mampu mencetuskan banyak, gagasan,
jawaban, penyelesaian dari masalah atau pertanyaan, dua siswa mampu memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan
berbagai hal, tiga siswa mampu
mengaitkan sejumlah kategori yang berbeda dari pernyataan yang dihasilkan; 2) Flexibility (Keluwesan), pertama, apabila siswa telah menghasilkan gagasan, jawaban atau pertanyaan yang bervariasi, dua, siswa dapat melihat masalah dari
susdut pandang yang berbeda-beda, tiga,
siswa dapat mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda, empat, siwa mamapu mengubah cara
pendekatan atau cara pemikiran; 3)
Originality (Kebaruan), indikator
yang akan diukur pada tingkat originality ini adalah: pertama, siswa mamapu
memperkaya dan mengembangkan sesuatu gagasan atau produk, dua, dapat
menambahkan atau memperinci detil-detil dari suatu objek, gagasan atau situasi
sehingga lebih menarik (Evans, 1991)
2.6. Teori Belajar Pendukung
Dalam model pencapaian konsep, bahwa dalam proses
berpikir sang anak atau peserta didik memiliki tingkat-tingkat pencapaian
konsep agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna yaitu tingkat
konkrit, tingkat identitas, tingkat klasifikator, dan tingkat formal. Hal ini
sesuai dengan Proses berpikir manusia menurut Piaget berlangsung bertahap dan
berpikir intelektual konkrit ke abstrak berurutan melalui empat tahap yang
meliputi tahap: a) periode sensorik motor (usia 0-2 tahun); b) periode
praoperasional (usia 2-7 tahun); periode operasional konkrit (usia 7-11 tahun);
periode operasional formal (usia 11-dewasa) (Slavin, 1994).
Selanjutnya
dalam model pembelajaran pencapaian konsep siswa di ajak untuk membangun sebuah
konsep sendiri dari apa yang telah mereka amati dan mereka pelajari. Dengan
melihat contoh dan noncontoh yang diberikan oleh guru, siswa dapat menentukan
sebuah karakteristik. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Bruner
(dalam Hudoyo, 1988) bahwa Belajar matematika ialah belajar tentang
konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi
yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan
struktur matematika. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk belajar konsep harus
melalui tiga tahap perkembangan mental yaitu tahap enaktif, tahap ikonok, dan
tahap simbolik. Dan implikasinya pada model pembelajaran pencapaian konsep
dapat dilihat pada tabel 2.5 berikut:
Tabel 2.5. Implikasi
tahap perkembangan mental dengan pencapaian konsep.
Tahap Perkembangan Mental
|
Implikasi Pada Model Pembelajara Pencapaian Konsep
|
1.
Enaktif.
2.
Ikonik.
3.
Sombolik.
|
1.
Menggunakan media pembelajar
2.
Mengidentifikasi karakteristik setiap contoh
3.
Mengemukakan dugaan sementara/definisi
berdasarkan karakteristik yang dimiliki contoh-contoh.
|
Dalam
pembelajaran model pencapaian konsep untuk membangun sebuah konsep maka
diharapkan siswa dapat mengingat kembali konsep sebelumnya yang telah
dipelajari sebelumnya serta dapat mebangun sebuah keterkaitan antara konsep yang
baru dengan konsep sebelumnya. Hal ini sesuai dengan teori yang di utarakan
oleh David Ausubel (dalam Dahar, 1996) bahwa belajar bermakna merupakan suatu
proses dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah
dimiliki seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi bila siswa
mencoba menbghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Ini
terjadi melalui belajar konsep dan perubahan konsep yang sudah ada, yang
mengakibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah dimiliki
siswa (Suparno, 1998).
Prinsip lain yang dikemukakan Ausubel alah advance organizer (pengaturan awal). Pengaturan awal dapat dianggap
semacam pertolongan mental dan disajikan sebelum materi baru (Sanusi, 2006).
Penerapan teori ini dilakukan pada saat guru mempersiapkan siswa utuk
berpartisipasi dalam pelaksanaan model-model pembelajaran tertentu, terutama
dalam (a) mengatur kesiapan siswa melalui uji awal; (b) mengidentifikasi
prinsip dasar dari materi baru; (c) menghubungkan pelajaran sekarang dengan
pengetahuan sebelumnya; (d) mengajari siswa memahami konsep-konsep dan
prinsip-prinsip yang ada dengan memberikan fokus pada hubungan-hubungan yang
ada; (e) memotivasi siswa dari konsep yang diminta. Kaitan dengan model
pencapaian konsep yaitu pada sintaks penyajian data, yaitu membandikan contoh
positif dan contoh negatif serta memberi definisi dari konsep yang diminta.
Teori Vygotsky juga sangat berperan dalam psikologi
perkembangan. Sumbangan yang sangat penting dari teori ini adalah penekanan
pada hakekat sosio kultural dari pembelajaran. Menurut Vygotsky ide yang lebih
penting adalah memberi sejumlah bantuan kepada anak didik selama tahap awal
pembelajaran dan bantuan itu selanjutnya pelan-pelan dikurangi hingga anak
bekerja sendiri (Sanusi, 2006). Bantuan yang dimaksud adalah berupa petunjuk,
peringatan, dorongan, membedakan contoh dan bukan contoh ataupun bantuan yang
lain sehingga memungkinkan siswa tumbuh secara mandiri (slavin dalam sanusi,
2006). Penerapan teori Vygotsky dalam model pencapaian konsep adalah pada tahap
analisis berpikir, yaitu mengungkapkan pikirannya dan berdiskusi antara siswa
dengan guru dan antara siswa dengan siswa dalam menemukan konsep.
2.7. Pembelajaran Konvensional.
Pembelajaran
konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu pola pembelajaran
yang biasa diterapkan di sekolah-sekolah sampai saat ini, yang masih cenderung
menganut paham behaviorisme. Hal ini dipertegas oleh Marpaung (2006: 7) bahwa
pembelajaran matematika yang sampai sekarang pada umumnya masih berlangsung di
sekolah dengan paradigma mengajar mempunyai ciri-ciri diantaranya, guru aktif
dan siswa pasif, jika siswa melakukan kesalahan
maka guru memberi hukuman dalam berbagai bentuk (pengaruh behaviorisme).
Hal ini berarti pembelajaran saat ini dengan pemberian informasi
sebanyak-banyaknya tidak memotivasi siswa untuk belajar. Guru menggunakan
perangkat pembelajaran dari yang sudah ada sebelumnya, menggunakan buku
pegangan siswa dan guru yang disarankan untuk dimiliki. Proses pembelajaran
matematika yang dimulai dari menjelaskan teori kemudian diberikan contoh dan
diikuti dengan soal latihan, dengan menjadikan guru sebagai pusat pembelajaran.
Metode pembelajaran matematika umumnya menggunakan kombinasi metode ceramah dan
metode tanya jawab. Guru lebih banyak menyampaikan materi dengan ceramah dan
sekali-kali diselingi dengan tanya jawab.
Hal ini didukung oleh Soejadi (2001) bahwa pembelajaran matematika yang
dilakukan selama ini telah menjadi kebiasaan para guru dalam menyajiikan pelajaran
dengan urutan: (1) dengarkan teori/defenisi/teorema, (2) berikan contoh-contoh,
(3) berikan latihan soal-soal. Sebagai contoh, seorang guru mengatakan
penjumlahan dua bilangan positif akan menghasilkan bilangan positif pula,
penjumlahan dua bilangan negatif akan menghasilkan bilangan negatif pula.
Setelah itu guru memberikan contoh soal dan diakhiri dengan menugaskan kepada
siswa untuk mengerjakan soal-soal. Dengan demikian pelaksanaan pembelajaran
bersifat menyampaikan informasi, aktivitas siswa menjadi pasif sehingga siswa
tidak memahami, kebanyakan siswa hanya mendengar dan menulis, dan hanya sedikit
siswa yang bertanya kepada tentang penjelasan guru.
2.8.Hasil-hasil Penelitian yang Relevan.
Terdapat beberapa penelitian yang dianggap relevan
dengan judul proposal tesis ini. diantaranya adalah hasil penelitian yang
dilakukan oleh Haetami dan Wahyuni Penerapan Model
Pembelajaran Pencapaian Konsep Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Dasar I
(Studi Perbaikan Pembelajaran pada Mahasiswa Pendidikan Kimia FKIP Unhalu) dengan hasil penelitian hasil
belajar mahasiwa untuk setiap siklus meningkat yaitu 62,92 untuk Siklus I;
64,72 untuk Siklus II ; dan 65,67 untuk Siklus III meskipun kenaikkannya tidak
lebih dari 3 %. Jumlah mahasiswa yang bernilai ≥ 65 pun relatif sama, meskipun sedikit
ada kenaikan tetapi untuk ketiga siklus masih di jauh di bawah target
pencapaian indikator kinerja yaitu 80 % mahassiwa bernilai ≥ 65.
Nularsih
melakukan penelitian terhadap
siswa SMA yaitu Teknik
Pencapaian Konsep Siswa melalui Pembelajaran
Peta Konsep dan Bermain Peran Terhadap Hasil Belajar
Geografi Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Surakarta Tahun 2008. Dengan hasil penelitian terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar siswa yang
diajar dengan menggunakan teknik pembelajaran Peta Konsep dan teknik Bermain
Peran. Hal ini ditunjukkan berdasarkan hasil perhitungan diperoleh t hitung
3,48 lebih besar dari harga t tabel dengan db 77 taraf signifikansi 5% sebesar
1,67. 2. Teknik pembelajaran Bermain Peran lebih baik daripada Teknik Peta
Konsep. Hal ini ditunjukkan berdasarkan hasil nilai rerata pada kelompok
eksperimen sebesar 7,73 lebih tinggi daripada nilai rerata kelompok kontrol
sebesar 7,00.
Sanusi juga melakukana penelitian dengan judul “Pembelajaran Pencapaian Konsep
dalam Mengajarkan persamaan kuadrat di Kelas I SMA/MA”. Dalam penelitian ini,
sampel yang diteliti sebanyak 2 kelas yaitu kelas I.1 sebagai kelas eksperimen
berjumlah 34 siswa dan kelas I.2 sebagai kelas kontrol sebanyak 35 siswa dengan
hasil penelitian data yang terkumpul hasil postes dari
kelas eksperimen sebesar 82,35% siswa tuntas, aktivitas siswa 61, 97% aktif,
36, 72 % mendengarkan penjelasan guru, 1,31% perilaku yang tidak relevan,
aktivitas guru 66,22% efektif, 33,75% memberikan petunjuk/bimbingan siswa dan
0% perilaku yang tidak relevan, respon siswa 85% merasa senang dengan komponen
belajar, 62, 33% merasa baru terhadap komponen pembelajaran dan 91,18% berminat
mengikuti pembelajaran pencapaian konsep.
2.9. Kerangka Konseptual
Belajar adalah suatu proses mental
yang terjadi dalam diri seseorang yang melibatkan kegiatan (proses) berfikir,
dan terjadi melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dan melalui reaksi
terhadap lingkungan dimana ia berada. Belajar matematika adalah belajar dengan
mengaitkan simbol-simbol dan konsep abstrak, sehingga diupayakan seefektif
mungkin dapat membantu siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, untuk
menemukan penyelesaian dari suatu masalah. Masalah yang dihadapi siswa
berbeda-beda, sebab ada yang menganggap suatu persoalan adalah masalah tetapi
bagi yang lain mungkin bukan merupakan suatu masalah.
Sesuai dengan tujuan pembelajaran
matematika yaitu, mempersiapkan anak didik sanggup menghadapi perubahan keadaan
di dalam kehidupan dan di dalam dunia yang senantiasa berubah, melalui latihan
bertindak atas dasar pemikiran secara logik dan rasional, kritis dan cermat,
objektif, kreatif. Dan mempersiapkan anak didik agar dapat menggunakan
matematika secara fungsional di dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam
menghadapi ilmu pengetahuan yang senantiasa berubah. Oleh sebab itu, guru harus
mampu merencanakan dan melaksanakan strategi, metode, teknik, atau pendekatan
dalam pembelajaran matematika yang dapat menarik perhatian siswa untuk dapat
terlibat aktif dalam proses pembelajaran
Salah satu strategi yang dapat meningkatkan proses berfikir siswa dalam
pemecahan masalah adalah pembelajaran kontekstual dimana penekananya bukan pada
rincian kejelasan tujuan, tetapi pada gambaran kegiatan tahap demi tahap dan
media yang dipakai.
Tidak ada satu pun definisi yang
dapat mengungkapkan arti yang kaya dari konsep, oleh karena itu konsep-konsep
itu merupakan penyajian internal dari sekelompok stimulus, konsep-konsep itu
tidak dapat diamati, dan harus disimpulkan dari perilaku. Dahar menyatakan
bahwa konsep merupakan dasar untuk berpikir, untuk belajar aturan-aturan dan
akhirnya untuk memecahkan masalah. Dengan demikian konsep itu sangat penting
bagi manusia dalam berpikir dan belajar. Karena itu dibuatlah suatu pemetaan konsep merupakan
suatu alternatif selain outlining, dan dalam beberapa hal lebih efektif
daripada outlining dalam mempelajari hal-hal yang lebih kompleks.
Model
pencapaian konsep merupakan bagian dari strategi organisasi. Strategi
organisasi bertujuan membantu pembelajar
meningkatkan kebermaknaan bahan-bahan organisasi bertujuan membantu pembelajar
meningkatkan kebermaknaan bahan-bahan baru, terutama dilakukan dengan
mengenakan struktur-struktur pengorganisasian baru pada bahan-bahan tersebut. Ada tiga cara yang dapat dilakukan oleh guru
dalam membimbing aktifitas siswa yaitu: (a) Guru mendorong siswa untuk menyatakan pemikiran
mereka dalam bentuk hipotesa, bukan
dalam bentuk observasi ; (b) Guru menuntun jalan pikiran siswa ketika mereka
menetapkan apakah suatu hipotesis diterima atau tidak;
(c) Guru meminta siswa untuk
menjelaskan mengapa mereka menerima atau menolak suatu hipotesis. Penggunaan model pencapaian konsep dimulai dengan
pemberian contoh-contoh penerapan konsep yang diajarkan, kemudian dengan
mengamati contoh-contoh diturunkan definisi dari konsep-konsep tersebut.
Suatu pembelajaran dikatakan efektif
jika melalui pembelajaran tersebut terdapat indikator kualitas pembelajaran (
quality of instruction), kesesuaian tingkat pembelajaran ( appropriate level of
instruction), insentif ( incentive), dan waktu (time). Suatu kelas dikatakan
menggunakan pembelajaran kontekstual jika dalam penerapannya terlaksana ketujuh
komponen, yaitu konstruktivisme (construktivism), menemukan(inquiri), bertanya
(questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modelling),
refleksi (reflection) dan penilaian sebenarnya (authentic assesment). Dengan
diterapkannya ketujuh komponen di atas dalam pembelajaran matematika maka siswa
akan menemukan sendiri kebermaknaan dalam belajar matematika sehingga
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika dan hasil
belajar siswa.
1.
Peningkatan pemahaman konsep matematika siswa yang diajarkan dengan
model pencapaian konsep lebih baik dari pada pemahaman konsep matematika siswa
yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.
Pemahaman konsep adalah kekuatan yang terkait
antara informasi yang terkandung pada konsep yang dipahami dengan skema yang
telah dimiliki sebelumnya. Suatu konsep, prosedur, dan
fakta dapat dipahami oleh siswa secara menyeluruh, bila objek matematika
tersebut dihubungkan dengan jaringan-jaringan yang ada maka keterkaitan antara
objek tersebut makin lebih kuat dan banyak. Dengan demikian tingkat pemahaman
konsep siswa dapat ditentukan oleh banyaknya jaringan informasi yang telah
dimiliki. Seorang siswa apabila
dirinya sudah memahami konsep, artinya konsep tersebut sudah tersimpan dalam
pikirannya berdasarkan pola-pola tertentu yang dibutuhkan oleh siswa untuk
ditetapkan dalam pikiran mereka sendiri sebagai ciri dari kesan mental untuk
membuat suatu contoh konsep dan membedakan contoh dan non contoh
Untuk meningkatkan kemampuan pemahamankonsep matematika siswa adalah
dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat salah satunya adalah
pembelajaran dengan model pencapaian konsep. Pada prinsipnya model pembelajaran pencapaian konsep adalah suatu model
mengajar yang menggunakan data untuk mengajarkan konsep kepada siswa, dimana
guru mengawali pengajaran dengan menyajikan data atau contoh, kemudian guru
meminta siswa untuk mengamati data tersebut. Model pencapaian konsep adalah suatu strategi
pembelajaran induktif yang didesain untuk membantu siswa pada semua usia dalam
mempelajari konsep dan melatih pengujian hipotesis dan
model ini memiliki keunggulan untuk
memahami (mempelajari) suatu konsep
dengan cara lebih efektif.
Model pencapaian konsep ini banyak menggunakan contoh dan non contoh. Ada
tiga cara yang dapat dilakukan oleh guru dalam membimbing aktifitas siswa
yaitu: (a) Guru
mendorong siswa untuk menyatakan pemikiran mereka dalam bentuk hipotesa, bukan dalam bentuk observasi ; (b) Guru menuntun jalan
pikiran siswa ketika mereka menetapkan apakah suatu hipotesis diterima atau
tidak; (c) Guru
meminta siswa untuk menjelaskan mengapa mereka menerima atau menolak suatu
hipotesis. Penggunaan model
pencapaian konsep dimulai dengan pemberian contoh-contoh penerapan konsep yang
diajarkan, kemudian dengan mengamati contoh-contoh diturunkan definisi dari
konsep-konsep tersebut. Hal yang paling utama diperhatikan dalam penggunaan
model ini adalah pemilihan contoh yang tepat untuk konsep yang diajarkan, yaitu
contoh tentang hal-hal yang akrab dengan siswa. Selain itu siswa diberi
kesempatan untuk mengaitkan antara konsep baru dengan konsep sebelumnya sehingga
pembelajaran akan bermakna.
Dalam pembelajaran konvensional, langkah-langkah dalam pembelajaran diawali dengan persiapan guru,
apersepsi materi pada pendahuluan, kegiatan inti adalah uraian materi yang
biasanya disampaikan guru dengan metode caramah, tanya jawab dan penugasan.
Kegaiatan guru dalam pembelajaran seolah-olah hanya mentransfer ilmu yang
dimilikinya kepada siswa. Dalam pembelajaran konvesnional siswa tidak
dilibatkan dalam pembelajaran secara fisik, mental maupun pada lingkungan
sendiri, siswa juga tidak memiliki
kesempatan menemukan sendiri konsep dasar suatu ilmu dan mengaikan antara
konsep baru dengan konsep sebelumnya sehingga pembelajaran tidak bermakna.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan
menggunakan model pencapaian konsep diduga dapat meningkatkan pemahaman konsep
siswa yang lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran ekpositori.
2. Peningkatan kemampuan
kreativitas matematika siswa yang diajarkan dengan model pencapaian konsep
lebih baik dari pada kreativitas matematika siswa yang diajarkan dengan
pembelajaran konvensional.
Kreatifitas
menunjukan kemampuan siswa menghasilkan sejumlah ide yang beragam,
mengembangkan maupun menghasilkan ide yang tak biasa diantara kebanyakan orang.
Kemampuan ini merupakan sesuatu yang sangat penting dalam menyelesaikan
berbagai persoalan-persoalan matematika. Terutama soal-soal yang membutuhkan
pemahaman lebih dalam misalnya soal-soal cerita maupun soal-soal open-ended.
Ada dua pandangan tentang kreativitas. Pandangan pertama disebut
pandangan kreativitas jenius. Menurut
pandangan ini tindakan kreatif dipandang sebagai ciri-ciri mental yang langka,
yang dihasilkan oleh individu luar biasa berbakat melalui penggunaan proses
pemikiran yang luar biasa, cepat, dan spontan. Pandangan kedua merupakan
pandangan baru kreativitas yang muncul dari penelitian-penelitian terbaru
bertentangan dengan pandangan jenius. Pandangan ini menyatakan bahwa
kreativitas berkaitan erat dengan pemahaman yang mendalam, fleksibel di dalam
isi dan sikap, sehingga dapat dikaitkan dengan kerja dalam periode panjang yang
disertai perenungan. Jadi kreativitas bukan hanya merupakan gagasan yang cepat
dan luar biasa.
Penggunaan model pencapaian konsep dimulai dengan
pemberian contoh-contoh penerapan konsep yang diajarkan, kemudian dengan
mengamati contoh-contoh diturunkan definisi dari konsep-konsep tersebut. Hal
yang paling utama diperhatikan dalam penggunaan model ini adalah pemilihan
contoh yang tepat untuk konsep yang diajarkan, yaitu contoh yang harus
diurutkan sedemikian sehingga para siswa mendapat kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kreatif mereka, menunjukkan secara cepat atau langsung makna dari
konsep yang diajarkan. Dalam mengurutkan contoh, guru dapat melakukan dengan menyajikan dua atau
lebih contoh positif kemudian diikuti dua atau lebih contoh negatif (non-
contoh).
Bahkan dengan model pencapaian konsep, siswa diberi kesempatan untuk menyajikan konsep dalam berbagai bentuk
representasi matematis sebagai suatu algoritma pemecahan masalah yang dapat menimbulkan kreativitas siswa.
Dalam pembelajaran konvensional, langkah-langkah dalam pembelajaran diawali dengan persiapan guru,
apersepsi materi pada pendahuluan, kegiatan inti adalah uraian materi yang
biasanya disampaikan guru dengan metode caramah, tanya jawab dan penugasan.
Kegaiatan guru dalam pembelajaran seolah-olah hanya mentransfer ilmu yang
dimilikinya kepada siswa. Dalam pembelajaran konvesnional siswa tidak
dilibatkan dalam pembelajaran secara fisik, mental maupun pada lingkungan sendiri sehingga kesempatan siswa untuk mengungkapkan
ide-ide yang dimilikinya akan terhalang. Hal ini akan menghambat kreativitas
berpikir siswa dalam menyelesaikan persoalan representatif matematika.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model pencapaian
konsep diduga dapat meningkatkan kreativitas siswa yang lebih baik dibandingkan
dengan pembelajaran ekpositori.
3.
Terdapat interaksi yang signifikan antara
pendekatan pembelajaran dengan tingkat kemampuan matematika siswa terhadap
peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematika siswa
Ada dua cara yang dapat kita
gunakan untuk mengamati dan memperoleh informasi tentang strategi yang digunakan
siswa untuk mencapai konsep, yaitu: (1) setelah suatu konsep dicapai, kita
dapat meminta mereka menceritakan pemikirannya agar latihan terus berlangsung. Misalnya,
dengan menggambarkan gagasan yang mereka munculkan, sifat apa yang mereka
fokuskan, dan modifikasi apa yang mereka
buat. Hal ini dapat membimbing mereka pada suatu diskusi di mana mereka dapat
menemukan strategi-strategi yang lain dan bagaimana penerapan strategi ini; (2)
kita dapat meminta siswa untuk menulis
hipotesis mereka. Setelah
itu, mereka diminta menyerahkan pada kita suatu catatan yang dapat kita
analisis. Siswa bekerja secara berpasangan untuk membentuk hipotesis-hipotesis
pada pasangan contoh-contoh (satu positif dan satu negatif) yang telah
disajikan untuk mereka. Mereka mencatat hipotesis mereka, perubahan-perubahan
yang mereka buat, dan alasan-alasan yang mereka kemukakan. Siswa yang bekerja
secara holistik, secara seksama akan menghasilkan hipotesis ganda dan secara
bertahap akan menghilangkan hipotesis yang tak dapat dipertahankan. Siswa yang
memilih satu atau dua hipotesis dalam awal-awal pengamatan perlu mengubah
contoh-contoh secara terus-menerus dan meninjau ulang atau merevisi gagasan
mereka agar mencapai konsep sifat ganda yang menjadi tujuannya. Dengan
menggunakan dan bercermin pada strategi mereka, siswa dapat mencoba strategi
baru dalam pelajaran selanjutnya dan menyelidiki pengaruh perubahan itu.
Jika diberikan
beberapa contoh yang sebelumnya telah diberi label pada siswa (satu
diidentifikasi sebagai contoh positif dan satu diidentifikasi untuk contoh
negatif), mereka pada akhirnya akan mampu memeriksa data dan memilih sedikit
hipotesis untuk diterapkan. Namun, jika contoh-contoh itu dalam bentuk pasangan
demi pasangan, siswa akan terdorong untuk menerapkan strategi-strategi holistic
untuk memperoleh ciri-ciri ganda atas contoh-contoh itu. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa diduga ada interaksi yang signifikan
antara pendekatan pembelajaran dengan tingkat kemampuan matematika siswa
terhadap peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematika siswa.
4.
Terdapat interaksi yang signifikan antara
model pembelajaran dengan tingkat
kemampuan matematika siswa terhadap peningkatan kemampuan kreativitas
matematika siswa
Sebagaimana telah di utarakan
bahwa Ada dua cara yang dapat
kita gunakan untuk mengamati dan memperoleh informasi tentang strategi yang
digunakan siswa untuk mencapai konsep, yaitu: setelah suatu konsep dicapai,
kita dapat meminta mereka menceritakan pemikirannya agar latihan terus
berlangsung; (2) kita dapat meminta
siswa untuk menulis hipotesis mereka. Setelah itu, mereka diminta menyerahkan pada kita suatu catatan yang dapat
kita analisis. Siswa bekerja secara berpasangan untuk membentuk
hipotesis-hipotesis pada pasangan contoh-contoh (satu positif dan satu negatif)
yang telah disajikan untuk mereka.
Hal di
atas menunjukkan bahwa dengan pembelajaran model pencapaian konsep akan dapat
meningkatkan kreativitas siswa dengan baik.
Sementara itu model pencapaian konsep dimulai dengan pemberian
contoh-contoh penerapan konsep yang diajarkan, kemudian dengan mengamati
contoh-contoh diturunkan definisi dari konsep-konsep tersebut. Contoh-contoh
itu harus diurutkan sedemikian sehingga para siswa mendapat kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kreatif mereka, menunjukkan secara cepat atau langsung makna dari
konsep yang diajarkan. Selain itu, penguasaan konsep
dasar ilmu yang baik dan tinggi akan menimbulkan problem solving yang baik dan
bervariasi sehingga memunculkan suatu kreativitas berfikir siswa. Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa diduga ada interaksi yang signifikan antara pendekatan
pembelajaran dengan tingkat kemampuan matematika siswa terhadap peningkatan
kemampuan kreativitas matematika siswa.
2.3.1
Jika diterapkan pembelajaran dengan pendekatan penemuan terbimbing dengan bantuan software Autograph maka siswa akan
lebih aktif
Berdasarkan fakta dilapangan, sebagian besar pendekatan
pembelajaran yang digunakan guru selama ini cenderung berpusat pada guru. Pembelajaran
disampaikan dengan menggunakan sistem ceramah sehingga mendorong aktivitas
belajar siswa yang cenderung diam, mendengarkan dan mencatat hal – hal yang
penting dari pelajaran. Hal ini mengakibatkan sikap anak yang pasif terhadap
pelajaran yang disampaikan.
Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan sebagai usaha peningkatan aktifitas
siswa adalah model pembelajaran
pencapaian konsep. Pada pembelajaran ini menekankan aktifitas siswa untuk
menkonstruksi dan menemukan sendiri ide-ide matematika, dengan melakukan
eksplorasi, diskusi dan presentasi berdasarkan contoh-contoh dan noncontoh.Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa jika diterapkan pembelajaran dengan model pembelajaran pencapaian konsep maka siswa akan
lebih aktif.
2.10. Rumusan Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan
masalah dan uraian pada tinjauan pustaka, pada penelitian ini diajukan
hipotesis sebagai berikut:
1.
peningkatan pemahaman
konsep matematika siswa yang diajarkan dengan model pencapaian konsep lebih
tinggi dari pada pemahaman konsep matematika siswa yang diajarkan dengan
pembelajaran konvensional.
2.
peningkatan kemampuan
kreativitas matematika siswa yang diajarkan dengan model pencapaian konsep
lebih tinggi dari pada kreativitas matematika siswa yang diajarkan dengan
pembelajaran konvensional.
3.
Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan tingkat kemampuan
matematika siswa terhadap peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematika
siswa.
4.
Terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan tingkat kemampuan matematika siswa terhadap
peningkatan kemampuan kreativitas matematika siswa.
5.
Siswa lebih aktif selama pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran pencapaian konsep.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Lokasi
Penelitian
Penelitian direncanakan akan dilakukan di Kelas kelas X SMA Negeri 5 Medan, serta rencana pelaksanaannya berlangsung pada bulan Juli selama
5 kali pertemuan (10 jam pelajaran = 10 x 40 menit) untuk masing-masing kelas sampel. Adapun
alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah karena penelitian yang
sejenis belum pernah dilaksanakan di sekolah tersebut. Selanjutnya pembelajaran
matematika di SMA Negeri 5 Medan selama ini masih konvensional dengan pendekatan
didominasi guru, siswa pasif dan selalu menunggu perintah guru, interasksi
siswa dengan siswa maupun guru jarang terjadi.
3.2. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah semua Siswa kelas X SMA N.5 yang terdiri dari 7 kelas, dan 2
kelas dari 7 kelas tersebut akan ditetapkan menjadi kelompok eksperimen yang
mana 1 kelas sebagai kelas eksperimen untuk pembelajaran menggunakan model
pencapaian konsep, dan 1 kelas sebagai kelas kontrol dengan menggunakan
pembelajaran konvensional. Pengambilan kelas sampel dan kelas kontrol di
lakukan secara acak (cluster random sampling). Tahap
pemilihan secara acak dapat dilakukan karena berdasarkan informasi dari kepala
sekolah dan dan guru bahwa pendistribusian siswa pada tiap kelas merata secara
heterogen. Salah satu cara memilih sampel mewakilinya populasinya adalah cara
random sederhana, yaitu bila setiap anggota dari populasi mempunyai kesempatan
yang sama untuk dipilih (Russefendi 1998). Salah satu cara untuk memperoleh
sampel secara random adalah dengan memberi nomor anggota populasi pada
kertas-kertas kecil, kemudian digulung, dimasukkan ke suatu tempat lalu diundi
diambil sebanyak yang diperlukan (Russefendi 1998). Sehingga pemilihan sampel
yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan penomoran tiap kelas
pada kertas lalu dilakukan undian.
3.3. Variabel Penelitian
Variabel dalam
penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu: 1. variabel bebas yang
meliputi: a) Variabel perlakuan yang mana variabel ini merupakan ,
pembelajaran dengan menggunakan model pencapaian konsep dengan; b)
Variabel kontrol yang meliputi 1) Guru. Guru mengajar kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol adalah sama atau setara, yaitu Guru bidang studi matematika
dengan ijazah S1 pendidikan matematika. 2)
Materi Pelajaran. Materi pelajaran yang diajarkan di kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol sama. 3) Waktu. Jumlah waktu yang digunakan dalam proses
pembelajaran kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sama; c) Variabel tak terkontrol, Variabel tak terkontrol dalam
penelitian ini adalah sosial ekonomi dan kondisi kesehatan Siswa, gizi Siswa,
cara belajar, pendidikan orang tua Siswa. Semua variabel ini tidak dapat
dijangkau dalam penelitian ini, hal ini merupakan keterbatasan penelitian; d) Variabel penyerta, Variabel penyerta dalam penelitian ini adalah kemampuan awal
Siswa yang ditunjukkan oleh skor pretes
Siswa, yaitu kemampuan Siswa menguasai materi bangun ruang sisi datar sebelum
eksperimen dilakukan. 2.Variabel Terikat, Variabel terikat adalah hasil belajar Siswa setelah diberi perlakuan yaitu
Pemahaman Konsep matematik melalui pembelajaran menggunakan model pencapaian
konsep, Pemahaman Konsep matematik melalui pembelajaran konvensional,
kreativitas siswa melalui pembelajaran menggunakan model pencapaian konsep,
kreativitas siswa melalui pembelajaran konvensional yang diperoleh dari
posttest. Variabel lain yang dapat dianggap sebagai variabel terikat adalah
aktivitas Siswa, kemampuan Guru mengelola pembelajaran, dan respon Siswa.
3.4. Desain Penelitan
Penelitian ini dikategorikan
ke dalam penelitian eksperimen semu (quasi
experiment). Desain yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tiga
tahapan, yaitu: (1) Tahap pennyusunan perangkat pembelajaran dan instrumen
penelitian, (2) Tahap uji coba perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian,
(3) Tahap pelaksanaan eksperimen. Setiap tahapan dirancang sedemikian sehingga
diperoleh data yang valid sesuai dengan karekteristik varabel sesuai dengan
tujuan penelitian. Berikut rancangan setiap dalam tahapan dalam penelitian.
1. Tahap uji coba perangkat dan instrumen
penelitian
Uji coba dilakukan untuk memperoleh masukan langsung dari
lapangan terhadap perangkat pembelajaran yang telah disusun berupa pencatatan
semua respon, reaksi, komentar dari siswa, guru dan pengamat dalam rangka
revisi Draft II. Diawali dengan pemberian tes (pretest) dan diakhiri dengan
posttest dengan tes yang sama. Data pretest dan posttest akan digunakan untuk
mengetahui reliabilitas, validitas, dan sensitivitas tes dengan menggunakan
rumus sebagai berikut.
1)
Rancangan uji coba
Rencana uji coba
pengembangan perangkat dan instrumen menggunakan uji awal dan uji akhir (one group pretest- posttest desain).
Tabel 3.1. Rancangan uji coba
Kelompok
|
Pretes
|
Perlakuan
|
Posttes
|
Uji coba
|
T1
|
X
|
T2
|
Keterangan :
T1: Pretest dan T2: Postest (tes
setelah diberikan perlakuan)
X: Perlakuan berupa pembelajaran
pencapaian konsep
T1 = T2
Dalam pelaksanaan
ujicoba ini pertemuan pertama peneliti memberikan contoh mengajar dengan pembelajaran
pencapaian konsep Untuk pertemuan berikutnya guru mitra dilibatkan sebagai guru
yang mensosialisasikan perangkat pembelajaran dan tes hasil belajar (Draf II)
dan menyertakan dua orang pengamat. Dari uji coba draf II dilakukan revisi
akhir untuk memperoleh draf final. Selanjutnya
draf final digunakan untuk eksperimen.
2)
Reliabilitas butir soal.
Reliabilitas instrumen tes dihitung untuk mengetahui
ketetapan hasil tes.Untuk menghitung reliabilitas perangkat tes ini digunakan
rumus yang sesuai dengan bentuk tes uraian (essay), yaitu rumus alpha sebagai
berikut:
r11 =
dengan :
r11: koefisien
reliabilitas perangkat tes
n: banyaknya item tes
: jumlah varians skor setiap item tes
: varians total (Arikunto, 1999)
Varians total: =
Varians masing-masing butir soal: =
Keterangan:
N = Banyaknya sampel
=
Jumlah total butir skor
Menentukan thitung dengan mensubsitusikan r11 ke
rumus:
thitung = (Sudjana,
1992:380)
Menentukan signifikansi koefisien reliabilitas tes.
Kriteria yang harus dipenuhi agar koefisien reliabilitas tes termasuk
signifikan adalah jika thitung > ttabel dengan ttabel
= t(1-α)(dk) untuk α adalah taraf signifikansi dan dk = N-2
Mencocokkan koefisien reliabilitas tes dengan kriteria tolak ukur
yang dimodifikasi dari Guilford (dalam Rusefendi, 198a:144) sebagai berikut:
Interval koefisien r
|
Kategori
|
r11 0,20
0,20 < r 11
0,40
0,40 < r 11
0,70
0,70 < r 11
0,90
0,90 < r 11
1,00
|
reliabilitas : sangat rendah
reliabilitas : rendah
reliabilitas : sedang
reliabilitas : tinggi
reliabilitas : sangat tinggi
|
Untuk hasil perhitungan reliabilitas soal hasil uji coba
instrument, akan disajikan pada tabel 3.2 berikut:
Tabel 3.2. Reliabilitas Butir Soal Hasil Uji Coba
No
Soal
|
Koef
Korelasi
|
thitung
|
ttabel
|
Reliabilitas
|
Interpretasi
Reliabilitas
|
1
2
3
.
.
.
.
N
|
|
|
|
|
|
3)
Validitas Butir Soal
Validitas butir soal
dihitung untuk mengetahui seberapa jauh hubungan antara jawaban skor butir soal
dengan skor total yang telah ditetapkan. Secara umum, suatu butir soal
dikatakan valid apabila memiliki dukungan yang besar terhadap skor total. Skor
pada suatu item menyebabkan skor total menjadi tinggi atau rendah. Dengan kata
lain sebuah item tes memiliki validitas tinggi jika skor pada item itu
mempunyai kesejajaran dengan skor total (Arikunto, 1999). Kesejajaran ini dapat
diartikan dengan korelasi, sehingga untuk mengetahui validitas item ini
digunakan rumus korelasi product moment
sebagai berikut:
rxy =
dengan :
x =
skor butir soal
y = skor total
rxy = koefisien korelasi antara skor butir
dengan skor total
N = banyaknya
siswa yang mengikuti tes (Arikunto, 1999).
Besarnya koefisien r
|
Kategori
|
0,800 – 1,00
0,600 – 0,800
0,400 – 0,599
0,200 – 0,399
0,000 – 1,999
|
Sangat Tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat Rendah
|
Sumber: Arikunto
(1999).
Sedangkan untuk mengetahui signifikansi korelasi yang
didapat, maka digunakan uji-t (Sudjana, 1996:379). Menentukan thitung
dengan mensubsitusikan rxy ke rumus:
thitung = (Sudjana,
1996:380)
Menentukan signifikansi koefisien validitas tes. Criteria yang harus
dipenuhi agar koefisien validitas tes termasuk signifikan adalah jika thitung
> ttabel dengan ttabel = t(1-α)(dk)
untuk α adalah taraf signifikansi dan dk = N-2. Untuk hasil perhitungan
Validitas soal hasil uji coba instrument, akan disajikan pada tabel 3.3
berikut:
Tabel 3.3 Validitas Butir Soal Hasil Uji Coba
No
Soal
|
Koef
Korelasi
|
thitung
|
ttabel
|
Validitas
|
Interpretasi
Validitas
|
1
2
3
.
.
.
.
n
|
|
|
|
|
|
4)
Tingkat Kesukaran Butir Soal
Untuk mengidentifikasi
soal-soal mana yang baik dan mana yang kurang baik atau jelek, dilakukan
analisis butir soal, sehingga dapat diketahui tingkat kesukaran dan daya
pembeda dari masing-masing soal. Dalam menganalisis tingkat kesukaran soal kita
menggunakan asumsi validitas dan reliabilitas, dan juga ada kemungkinan
keseimbangan dari tingkat kesulitan tersebut (Panjaitan, 2008). Keseimabang
ayang dimaksud adalah adanya soal-soal yang dikategorikan soal mudah, sedang,
dan sukar secara profesional (Panjaitan, 2008). Selanjutnya, tingkat kesukaran
dapat dipandang sebagai kesanggupan siswa menjawab soal, tidak dapat dilihat
dari segi kemampuan guru mendisain soal tersebut. Penentuan indeks kesukaran
ditentukan oleh rumus sebagai berikut:
Dengan:
DI =
Indeks kesukaran butir soal
HG = Jumlah skor siswa kelompok atas
LG = Jumlah skor siswa kelompok Bawah
N =
Jumlah pesert a kelompok atas dan kelompok bawah
Kriteria
interpretasi tingkat kesukaran (Suherman, 1990)
DI
≤ 27% , soal sukar
27% < DI ≤ 73% ,
soal sedang
DI > 73% ,
soal mudah
Untuk hasil perhitungan tingkat kesukaran soal hasil uji coba
instrument, akan disajikan pada tabel 3.4 berikut:
Tabel 3.4 Tingkat Kesukaran Soal Hasil Uji Coba
No
Soal
|
Tingkat
Kesukaran
|
Keterangan
|
1
|
|
|
2
|
|
|
3
|
|
|
4
|
|
|
5
|
|
|
6
|
|
|
5) Daya Pembeda Butir Soal
Daya pembeda butir soal adalah kemampuan suatu butir soal untuk
membedakan siswa yang pandai (menguasai materi yang ditanyakan) dengan siswa
yang kurang pandai (belum atau tidak menguasai materi yang ditanyakan).
Tahap-tahap perhitungan daya pembeda butir soal adalah:
1.
Para siswa didaftarkan dalam
peringkat pada sebuah tabel
2.
Memisahkan 27%-33% nilai siswa
dari kelompok atas dan kelompok bawah (Depdiknas, 2003).
3.
Menghitung daya pembeda butir
soal dengan rumus
DP = (Depdiknas,
2003)
Keterangan:
DP = daya
pembeda butir soal
= nilai
rataan kelompok atas
= nilai
rataan kelompok bawah
XM = nilai maksimal setiap butir soal
Interpretasi nilai DP mengacu pada pendapat Ebel (Ruseffendi, 1991b:
203-204):
0,40 atau lebih : sangat baik
0,30 – 0,39 :
cukup baik, mungkin perlu diperbaiki
0,20 – 0,29 :
minimum, perlu diperbaiki
0,19 ke bawah : jelek, dibuang atau dirombak
Untuk hasil perhitungan daya pembeda soal hasil uji coba instrument,
akan disajikan pada tabel 3.5 berikut:
Tabel 3.5 Daya Pembeda Soal Hasil Uji Coba
No
Soal
|
Daya
Pembeda
|
Keterangan
|
1
|
|
|
2
|
|
|
3
|
|
|
4
|
|
|
5
|
|
|
6
|
|
|
2. Tahap Pelaksanaan Eksperimen
Setelah melakuakan pengembangan perangkat dan uji coba perangkat,
penelitian ini dilanjutkan pada pelaksanaan eksperimen. Rancangan eksperimen
ini menggunakan rancangan eksperimen pretes-postes dua kelompok yaitu kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Bentuk rancangan eksperimen dilaku sebagaimana pada tabel 3.6. berikut:
Tabel 3.6. Rancangan Penelitian
Kelompok
|
Pretest
|
Treatment
|
Postest
|
Eksperimen
|
O1
|
X
|
O2
|
Kontrol
|
O1
|
Y
|
O2
|
Keterangan:
X : pendekatan penemuan terbimbing menggunakan
software Autograph
Y: Pembelajaran
Konvensional
Untuk mengetahui sejauh mana kesiapan siswa
menerima pembelajaran pada pokok bahasan persamaan dan pertidaksamaan linier
satu variabel dan perbandingan dan untuk mengetahui apakan kemampuan awal sama
atau tidak, maka dilakukan tes awal (pretes).
Adapun pretes dilakukan untuk melihat kesetaraan
antara subjek penelitian, sedangkan postes dilakukan untuk melihat perbedaan
peningkatan kemampuan Pemahaman Konsep matematika dan kemampuan kreatifitas matematika
siswa. Dengan menggunakan model Weinner,
maka rancangan penelitian ini dapat disajikan sebagai berikut:
Tabel 3.7. Rangkuman Perhitungan Peningkatan (Gain) Kemampuan Pemahaman
Konsep dan Kreativitas Matematika
Siswa
Kemampuan Yang Diukur
|
Pendekatan Pembelajaran
|
|
Model Pencapaian Konsep
|
Pembelajaran Konvensional
|
|
Gain Ternormalisasi
|
Gain ternormalisasi
|
|
Pemahaman Konsep matematika
|
|
|
Kreatifitas Matematika
|
|
|
Tabel 3.8. Rangkuman
Perhitungan Peningkatan (Gain) Kemampuan Pemahaman Konsep dan
Kreativitas Matematika Siswa Berdasarkan Tingkat Kemampuan
Matematika Siswa
Kemampuan Yang Diukur
|
Tingkat Kemampuan Matematika
|
Pendekatan Pembelajaran
|
|
Model Pencapaian Konsep
|
Pembelajaran Konvensional
|
||
Gain ternormalisasi
|
Gain ternormalisasi
|
||
Pemahaman Konsep matematika
|
Tinggi
|
|
|
Sedang
|
|
|
|
Rendah
|
|
|
|
Kreatifitas Matematika
|
Tinggi
|
|
|
Sedang
|
|
|
|
Rendah
|
|
|
Data yang diperoleh dari hasil
pretes dan postes dianalisis untuk mengetahui peningkatan kemampuan Pemahaman
Konsep matematika siswa dan kreatifitas matematika siswa.
Besarnya
peningkatan sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung dengan rumus gain
ternormalisasi (normalized gain) dan akhirnya diperoleh peningkatan rata-rata kemampuan Pemahaman Konsep matematika dan
kreatifitas matematika yang telah disusun sebelumnya dalam distribusi
frekuensi.
2.5.
Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Berdasarkan rancangan penelitian di
atas, penelitian ini mencakup tiga tahapan. Ketiga tahapan ini mencakup tahap
persiapan, tahap pelaksanaan, eksperimen tahap analisa dan penulisan laporan,
sebagai berikut:
2.5.1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan yang dimaksud adalah
kegiatan yang dilakukan untuk menyusun perangkat pembelajaran dan instrumen
penelitian, variabel serta revisi para ahli terhadap perangkat pembelajaran dan
instrumen penelitian. Termasuk survey ke SMA Negeri 5 Medan sekaligus melakukan
kolaborasi antara peneliti yang melakukan eksperimen dengan pengamat agar
memiliki persmaan pandangan dalam melakukan pengamatan terhadap proses
pembelajaran.
2.5.2. Tahap Pelaksanaan
Eksperimen
Pada tahap ini dilakukan tes awal,
penyajian pembelajaran berbasis masalah pengumpulan data, dan tes akhir. Tes awal
bertujuan untuk mengetahui keadaan awal siswa tentang materi fungsi dan fungsi
kuadrat. Juga dilakukan pengamatan terhadap aktivitas siswa, pengamatan
kemampuan guru mengelola pembelajaran dan pola jawaban siswa dalam mengerjakan
tes yang diberikan.
2.5.3. Tahap Analisis Data dan
Penulisan Laporan
Data yang diperoleh dari hasil eksperimen kemudian dianalisis dengan
membandingkan hasil antara kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen, menguji
mana yang lebih baik serta menarik kesimpulan sesuai dengan tujuan penelitian.
Kemudian semua hasil penelitian ditulis untuk membuat laporan.
2.6.
Teknik Pengumpulan Data
Instrumen
penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah tes Pemahaman Konsep
matematik, lembar pengamatan kretivitas matematika, dan lembar pengamatan aktivitas siswa. Semua data akan dianalisis untuk
penarikan kesimpulan.
2.6.1.
Tes Kemampuan Pemahaman Konsep matematika Siswa.
Tes kemampuan Pemahaman Konsep matematika siswa disusun
dalam bentuk uraian berdasarkan kriteria kemampuan pemahaman dan materi ajar
yang dipelajari siswa. Kriteria
pemberian skor tiap butir soal dalam tes berpedoman pada penskoran soal, setiap
butir soal mempunyai bobot maksimal 4 dan minimal 0. Panduan
pemberian skor menggunakan Holistic
Scoring Rubrics menurut Cai, Lane, dan Jakabcsin, (dalam Bagus, 2007) yang
telah dimodifikasi seperti pada tabel 3.9. sebagai berikut:
Tabel 3.9. Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Pemahaman Konsep matematika Siswa
No.
|
Kriteria pemahaman konsep
|
Deskripsi
|
skor
|
1
|
Menyatakan ulang sebuah konsep
|
Tidak
menuliskan jawaban apapun
|
0
|
Hanya menggambarkan grafik fungsi kuadrat tanpa melalui tahapan
menggambarkan grafik fungsi.
|
1
|
||
Dapat menyelesaiakan 1 dari 3 tahapan penyelesaian menggambarkan grafik
fungsi kuadrat
|
2
|
||
Dapat menyebutkan 2 dari 3 tahapan penyelesaian menggambarkan grafik
fungsi kuadrat
|
3
|
||
Dapat menyebutkan 3 dari 3 tahapan penyelesaian menggambarkan grafik fungsi
kuadrat
|
4
|
||
2
|
Mengklasifikasikan objek
|
Tidak ada jawaban
|
0
|
Dapat menglasifikasikan fungsi tanpa mengemukakan argumentasi
|
1
|
||
Dapat mengklasifikasikan fungsi dengan mengemukakan sebagian ciri-ciri
yang dimiliki objek.
|
2
|
||
Dapat mengklasifikasikan fungsi dengan mengemukakan ciri-ciri yang
dimiliki objek tetapi masih terdapat kesalahan
|
3
|
||
Mampu mengklasifikasikan fungsi dan mengemukakan argumentasi dengan
benar.
|
4
|
||
3
|
Mengaplikasikan konsep
|
Tidak ada jawaban
|
0
|
Dapat menyajikan sebagian bentuk algoritma penyelesaian soal tapi tidak
dapat melanjutkan dalam perhitungan.
|
1
|
||
Dapat menyajikan sebagian algoritma
penyelesaian soal serta melanjutkannya dengan benar dalam perhitungan.
|
2
|
||
Dapat menyajikan semua algoritma penyelesaian
tetapi masih ada sebagian kecil yang tidak dapat dilanjutkan dalam
perhitungan.
|
3
|
||
Dapat menyajikan semua algoritma penyelesaian
serta dapat melanjutkan dalam perhitungan dengan benar.
|
4
|
Kisi-kisi soal kemampuan Pemahaman Konsep matematika siswa
ditunjukkan pada tabel 3.10. sebagai berikut:
Tabel 3.10. Kisi-kisi Soal Kemampuan Pemahaman Konsep
matematika Siswa
Indikator Pemahaman
Konsep matematik
|
Indikator Yang diukur
|
Nomor Soal
|
Menyatakan ulang sebuah konsep
|
menyebutkan definisi berdasarkan konsep esensial yang dimiliki oleh sebuah objek
|
2
|
Mengklasifikasikan objek
|
menganalisis suatu
objek dan mengklasifikasikannya menurut sifat-sifat/ciri-ciri tertentu yang dimiliki sesuai dengan konsepnya
|
1
|
Mengaplikasikan
konsep
|
menyajikan konsep dalam berbagai
bentuk representasi matematis sebagai suatu algoritma pemecahan masalah.
|
3
|
3.5.2.
Tes Kemampuan Kreativitas Matematika Siswa.
Tes kemampuan kreativitas matematika siswa disusun dalam
bentuk uraian berdasarkan kriteria kemampuan kreativitas dan materi ajar yang
dipelajari siswa. Kriteria
pemberian skor tiap butir soal dalam tes ini menurut pedoman penskoran
soal-soal, di mana setiap butir soal mempunyai bobot nilai maksimal 4 (empat)
dan minimal 0 (nol). Panduan pemberian skor menggunakan
Holistic Scoring Rubrics menurut Cai,
Lane, dan Jakabcsin, (dalam Bagus, 2007) yang telah dimodifikasi. Penskoran tes
kemampuan kreatifitas matematika siswa yang digunakan adalah yang disajikan
pada tabel 3.11. berikut:
Tabel 3.11. Pedoman Penskoran Tes Kreativitas Matematika Siswa
|
Kriteria
kreativitas
|
skor
|
|||
Fluency
(Kelancaran)
|
Flexibility
(Keluwesan)
|
Originality
(Kebaruan)
|
|||
Deskripsi
|
Ø
Tidak menuliskan jawaban
apapun tidak ada penyelesaian matematika yang muncul sesuai dengan soal.
|
0
|
|||
Tidak dapat memberikan langkah-langkah
penyelesaian yang tepat dan benar.
|
Jawaban hanya sekedar menafsirkan malsah yang
ada dalam soal saja.
|
Telah muncul jawaban tetapi belum mamapu memperkaya dan mengembangkan sesuatu gagasan atau produk
|
1
|
||
Dapat memberikan beberapa langkah-langkah penyelesaian,
tetapi masih salah dalam menggunakan langkah tersebut untuk menyelesaiakan
jawaban soal.
|
Dapat menafsirkan suatu masalah dalam soal
dan beberapa konsep atau asas yang
akan digunakan dalam penyelesaian soal.
|
Mamapu memperkaya dan mengembangkan sesuatu gagasan atau produk, namun belum mampu menambahkan
atau memperinci detil-detil dari suatu objek, gagasan atau situasi sehingga
lebih menarik
|
2
|
||
Dapat memberikan beberapa langkah-langkah
penyelesaian yang tepat dan benar menggunakannya untuk menyelesaiakan jawaban
soal.
|
Dapat menafsirkan suatu masalah dalam soal
dan konsep atau asas yang akan
digunakan dalam penyelesaian soal, namun belum memberikan alternatif
penyelesaian lain dari penyelesaian biasanya.
|
Menambahkan atau memperinci detil-detil dari suatu objek, gagasan
atau situasi sehingga lebih menarik namun masih melakukan beberapa kesalahan dalam perhitungan.
|
3
|
||
Dapat memberikan semua langkah-langkah
penyelesaian yang tepat dan benar.
|
Dapat menafsirkan suatu masalah dalam soal
dan konsep atau asas yang akan
digunakan dalam penyelesaian soal, serta memberikan alternatif penyelesaian
lain dari penyelesaian biasanya.
|
Mamapu memperkaya dan mengembangkan sesuatu gagasan atau produk dan menambahkan atau
memperinci detil-detil dari suatu objek, gagasan atau situasi sehingga lebih
menarik
|
4
|
Adapun kisi-kisi soal kemampuan kreativitas matematika
siswa ditunjukkan pada tabel 3.12. sebagai berikut:
Tabel 3.12. Kisi-kisi Soal Kemampuan Kreatifitas Matematika Siswa
Indikator Pemahaman Matematika
|
Indikator Yang Diukur
|
No. Soal
|
Fluency (Kelancaran)
|
Dapat memberikan gagasan atau langkah-langkah
penyelesaian soal, dan jawaban tidak terputus-putus dan benar.
|
1
2
|
Flexibility (Keluwesan)
|
Dapat menafsirkan suatu masalah dalam soal
dan konsep atau asas yang akan
digunakan dalam mpenyelesaian soal, serta memberikan alternatif penyelesaian lain dari yang biasanya.
|
3
4
|
Originality
(Kebaruan)
|
Mamapu memperkaya dan mengembangkan sesuatu gagasan atau produk serta mampu menambahkan
atau memperinci detil-detil dari suatu objek, gagasan atau situasi sehingga
lebih menarik.
|
5
|
3.5.3. Lemba Observasi Aktivitas Siswa.
Lembar observasi aktivitas siswa meliputi aktivitas
siswa dari awal pembelajaran sampai guru menutup pembelajaran. Data aktivitas
siswa diperoleh melalui pengamatan terhadap siswa dengan memperhatikan
aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung pada kelompok model pembelajaran pencapaian konsep. Pengamatan aktiviats siswa dilakukan oleh satu orang pengamat
dalam setiap kali pertemuan. Pengamat menuliskan kategori-kategori yang skor
yang muncul dengan memberi tanda cek (v) pada baris dan kolom sesuai dengan
aspek yang dinilai. Kategori pengamatan aktivitas siswa pada kelas eksperimen adalah sebagai
mana tertera pada tabel 3.13. berikut:
Tabel 3.13. Aktivitas
Siswa selama Pembelajaran pada Kelas Eksperimen
No.
|
Fase model pencapaian konsep
|
Aspek yang diamati
|
Indikator Pengamatan
|
1
|
Penyajian Data
|
Membandingkan contoh berlabel
|
Keaktifan belajar
Menjawab pertanyaan guru
|
Mengajukan dugaan sendiri
|
Memeberi tanggapan
Bertanya.
|
||
Memberikan definisi
|
Mengajukan tanggapan
Menjawab pertanyaan guru
|
||
2
|
Pengetesan Pencapaian Konsep
|
Memberi komentar berdasarkan
contoh lain yang tak berlabel
|
Menjawab pertanyaan guru
Memberikan tanggapan
mengenai contoh tak berlabel
|
Memberikan nama konsep
|
Mengerjakan hasil kerja ke
depan.
|
||
Mencari contoh yang alain
|
Memberikan contoh lain
dengan menuliskannya ke papan tulis
|
||
3
|
Analisis Strategi Berpikir
|
Mengungkapkan hasil pemikiran sendiri
|
Keaktifan mengungkapkan ide
sendiri
|
Melakukan diskusi dari keaneka ragaman hasil pemikiran
|
Keaktifan dalam berdiskusi
Keaktifan bertanya dan
menjawab pertanyaan
|
Selanjutnya dihitung dengan rumus:
Persentase Rata-Rata Skor (RS) =
Dimana
90% ≤ RS ≤ 100% :
Sangat Baik
80% ≤ RS< 90% :
Baik
70% ≤ RS < 80% :
Cukup
60% ≤ RS < 70% :
Kurang
0% ≤
RS < 60% : Buruk
3.6.
TEHNIK ANALISIS DATA
Berkaitan dengan
pertanyaan penelitian, data tentang peningkatan dan interaksi untuk pemahaman konsep dan kreativitas dianalisis dengan statistik inferensial. Data nilai
gain yang diperoleh dari skor kemampuan pemahaman matematika dan kemampuan
kreativitas matematika dikelompokkan menurut pendekatan penemuan terbimbing menggunakan
Autograph dan pembelajaran pendekatan pembelajaran biasa. Untuk selanjutnya
pengolahan data diawali dengan menguji persyaratan statistik yang diperlukan
sebagai dasar dalam pengujian hipotesis antara lain uji normalitas dan
homogenitas, selanjutnya dilakukan ANOVA 2 jalur untuk menguji hipotesis yang
disesuaikan dengan permasalahannya. Seluruh perhitungan statistik menggunakan bantuan
komputer yakni program Microsoft Exceel dan program SPSS 17. Selain dilakukan
analisa kuantitatif, peneliti juga akan melakukan analisa kualitatif terhadap
aktifitas siswa. Untuk lebih terarahnya penelitian ini berikut disajikan tabel
keterkaitan antara permasalahan, hipotesis, dan jenis uji statistik yang
digunakan dalam analisis kuantitatif.
a.
Menguji Normalitas
Menguji normalitas data menggunakan rumus khi-kuadrat (chi-square) dari Ruseffendi (1998:294)
Dengan : = khi-kuadrat
fo = frekuensi dari yang diamati
fe =
frekuensi yang diharapkan
Langkah berikutnya adalah membandingkan 2hitung dengan 2tabel dengan derajat kebebasan (dk)
= J-3. Dalam hal ini J menyatakan banyaknya kelas interval. Jika 2hitung < 2tabel , maka dapat dikatakan bahwa
data tersebut berdistribusi normal.
b.
Menguji Homogenitas
Uji ini digunakan
untuk menentukan apakah sampel yang diperoleh berasal dari populasi dengan
varians yang sama. Tes yang digunakan untuk menghitung
homogenitas mengunakan
rumus dari Ruseffendi (1998:295)
Hipotesis yang akan di uji
adalah:
H0 : s12 = s22
HA : s12 ≠ s22
F =
Dengan:
= variansi terbesar
= variansi terkecil
Kriteria
pengujiannya adalah tolak H0 jika dan terima H0
untuk kondisi lainnya. Dengan dk pembilang = (n1-1) dan dk penyebut
= (n2-1) pada taraf signifikansi
α = 0,05
Selanjutnya uji statistik sesuai dengan hipotesis yang diajukan dilakukan berikut:
1. Peningkatan kemampuan
pemahaman konsep matematika siswa yang diajar dengan model pembelajaran
pencapaian konsep lebih baik dari siswa yang diajar dengan Pembelajaran
Konvensional
Data yang
diperoleh dari hasil tes awal dan tes akhir untuk kemampuan pemahaman konsep matematika dianalisis
untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematika siswa. Skor yang diperoleh dari hasil tes siswa sebelum
dan belajar dengan model pembelajaran pencapaian konsep dianalisa dengan cara membandingkan dengan skor siswa
yang diperoleh dari hasil tes siswa sebelum dan setelah belajar dengan pendekatan
penemuan terbimbing tanpa software Autograph. Besarnya peningkatan sebelum dan
sesudah pembelajaran dihitung dengan rumus gain ternormalisasi (normalized
gain), yang dikembangkan oleh Hake dalam Siregar (2009) sebagai berikut:
Selanjutnya
digunakan uji ANOVA 2 jalur yang dilanjutkan dengan uji Schefee untuk melihat
apakah peningkatan kemampuan pemahaman siswa yang ada di kelompok eksperimen
lebih baik dibandingkan dengan siswa yang ada di kelompok kontrol . Dimana hipotesis yang akan diuji adalah:
H0 : μ1 = μ2 : Peningkatan kemampuan pemahaman konsep
matematika siswa yang diajar dengan model pembelajaran pencapaian konsep tidak
lebih baik dari Pembelajaran Konvensional.
Ha : μ1 > μ2
: Peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematika siswa yang
diajar dengan model pembelajaran pencapaian konsep lebih baik dari Pembelajaran
Konvensional.
2. Peningkatan kemampuan
kreativitas matematika siswa yang diajar dengan model pembelajaran pencapaian
konsep lebih baik dari siswa yang diajar dengan Pembelajaran Konvensional
Sama halnya
seperti uji hipotesis pada point (1) diatas, data yang diperoleh dari hasil tes
awal dan tes akhir untuk kemampuan kreativitas dianalisis untuk mengetahui
peningkatan kemampuan kreativitas matematika siswa. Skor yang diperoleh dari hasil
tes siswa sebelum dan setelah belajar dengan model pembelajaran pencapaian konsep dianalisa dengan cara
membandingkan dengan skor siswa yang diperoleh dari hasil tes siswa sebelum dan
setelah belajar dengan pendekatan pembelajaran biasa. Besarnya peningkatan
sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung dengan rumus gain ternormalisasi (normalized
gain), yang dikembangkan oleh Hake dalam Siregar (2009) sebagai berikut:
Selanjutnya
digunakan uji ANOVA 2 jalur yang dilanjutkan dengan uji Scheffe untuk melihat
apakah peningkatan kemampuan kreativitas siswa yang ada di kelompok eksperimen
lebih baik dibandingkan dengan siswa yang ada di kelompok kontrol. Dimana hipotesis yang akan diuji adalah:
H0 : μ1 = μ2 : Peningkatan kemampuan kreativitas matematika siswa yang diajar
dengan model pembelajaran pencapaian konsep tidak lebih baik dari Pembelajaran
Konvensional.
Ha : μ1 > μ2 : Peningkatan kemampuan kreativitas
matematika siswa yang diajar dengan model pembelajaran pencapaian konsep lebih
baik dari Pembelajaran Konvensional.
3. Terdapat interaksi antara
pendekatan pembelajaran dengan tingkat kemampuan matematika siswa terhadap
peningkatan pemahaman konsep matematika
siswa.
Data peningkatan
pemahaman konsep dan
kreativitas matematika siswa yang telah diperoleh
akan diuji menggunakan ANOVA 2 jalur
setelah memenuhi syarat uji normalitas dan homogenitas untuk melihat
apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan tingkat
kemampuan matematika terhadap peningkatan kemampuan pemahaman matematika siswa. Setelah
diujikan dengan ANOVA 2 jalur, kemudian dilanjutkan dengan uji Scheffe.. Adapun desain rancangan
penelitian yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara varibel penelitian
adalah seperti pada tabel 3.14 yakni:
Tabel 3.14. Desain faktorial 3×2 untuk mengetahui
interaksi antara
pendekatan pembelajaran dan tingkat kemampuan matematika siswa
terhadap peningkatan pemahaman konsep matematika siswa
Kemampuan Yang Diukur
|
Tingkat Kemampuan Matematika
(A)
|
Pendekatan Pembelajaran (B)
|
|
Kelas Eksperimen (B1)
|
Kelas Kontrol
(B2)
|
||
Gain
|
Gain
|
||
Pemahaman konsep Matematika
|
Tinggi (Ax1)
|
Ax1B1
|
Ax1B2
|
Sedang (Ax2)
|
Ax2B1
|
Ax2B2
|
|
Rendah (Ax3)
|
Ax3B1
|
Ax3B2
|
Keterangan :
Ax1B1 : interaksi
antara model pembaelajaran pencapaian konsep dan
kemampuan matematika terhadap peningkatan pemahaman konsep pada kelompok tinggi
Ax1B1 :
interaksi antara model pembaelajaran pencapaian konsep
dan kemampuan matematika terhadap peningkatan pemahaman konsep pada kelompok sedang
Ax3B1 :
interaksi antara model pembaelajaran pencapaian konsep
dan kemampuan matematika terhadap peningkatan pemahaman konsep pada kelompok rendah
Ax1B2 :
interaksi antara pembaelajaran konvensional
dan kemampuan matematika terhadap peningkatan pemahaman konsep pada kelompok tinggi
Ax2B2 : interaksi
antara pembaelajaran konvensional dan
kemampuan matematika terhadap peningkatan pemahaman konsep pada kelompok sedang
Ax3B2 : interaksi antara
pembaelajaran konvensional dan kemampuan matematika
terhadap peningkatan pemahaman konsep pada kelompok rendah
Selanjutnya tabel
ANOVA yang perlu diisi adalah sebagai berikut:
Tabel 3.15 Rancangan Tabel ANOVA untuk
Mengetahui Interaksi Antara Pendekatan Pembelajaran Dan Tingkat Kemampuan Matematika Siswa
Terhadap Peningkatan Pemahaman Konsep Matematika Siswa
Sumber
|
JK
|
Dk
|
RJK
|
F
|
T. Kemampuan Matematika (A)
|
JKa
|
J-1
|
JKa/(J-1)
|
RJKa/RJKi
|
Model Pembelajaran pencapaian konsep (B)
|
JKb
|
K-1
|
JKb/(K-1)
|
RJKb/RJKi
|
A×B
|
JKab
|
(J-1)(K-1)
|
JKab/(J-1)(K-1)
|
RJKab/RJKi
|
Interaksi
|
JKi
|
J×K×(n-1)
|
JKi/ J×K×(n-1)
|
|
Dengan F kritis diperoleh dari
F tabel dengan dk {y, J×K×(n-1)} dan α=0,5%
Keterangan:
JKa : Jumlah kuadrat menurut faktor A
JKb : Jumlah kuadrat menurut faktor B
JKab : Jumlah kuadrat menurut faktor A dan
faktor B
JKi : Jumlah kuadrat inter kelompok
N : Banyak anggota per kelompok
n : banyak
anggota seluruhnya
K : Banyak kolom
J : Banyak baris
Adapun masing-masing JKa, JKb,
JKab, dan JKi diperoleh dengan rumus sebagai
berikut:
Untuk memperoleh tabel nilai JKi kita harus mengetahui
terlebih dahulu rerata per kotak, rerata menurut baris kotak, rerata menurut
kolom kotak dan rerata seluruhnya. Secara singkat seperti tabel 3.16 berikut:
Tabel 3.16 Tabel Perhitungan Rerata untuk Mengetahui Interaksi Antara Pendekatan Pembelajaran Dan
Tingkat Kemampuan Matematika Siswa Terhadap Peningkatan Pemahaman Konsep Matematika Siswa
Kemampuan Yang Diukur
|
Tingkat Kemampuan Matematika (A)
|
Pendekatan Pembelajaran (B)
|
|
|
Kelas Eksperimen (B1)
|
Kelas Kontrol
(B2)
|
|
||
Gain
|
Gain
|
|
||
Pemahaman konsep Matematika
|
Tinggi (Ax1)
|
|
|
|
Sedang (Ax2)
|
|
|
|
|
Rendah(Ax3)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Selanjutnya
dilakukan uji F berdasarkan tabel ANOVA yang telah diperoleh, dengan
membandingkan Fhitung dengan Ftabel dengan dk
(y,J×K×(n-1)) dan α = 0,05. Kriteria pengujiannya adalah tolak H0 jika Fhitung>Ftabel
dan terima H0 untuk
kondisi lainnya. Adapun hipotesis H0 yang akan diuji adalah sebagai
berikut:
H0 : μ11 – μ12 = μ21
– μ22 = μ31 – μ32 : Tidak terdapat interaksi yang signifikan
antara pendekatan
pembelajaran dan tingkat kemampuan matematika siswa terhadap peningkatan
kemampuan pemahaman matematika siswa
Apabila terdapat
interaksi yang signifikan maka akan dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan
uji Scheffe. Adapun uji Scheffe dilakukan untuk melihat sejauh mana perbedaan
interaksi masing-masing perlakuan. Apakah peningkatan pemahaman konsep matematika model
pembelajaran pencapaian konsep lebih signifikan
terlihat dari pada pembelajaran konvensional pada siswa yang kemampuan matematikanya tinggi atau sebaliknya? Demikian juga untuk
siswa kemampuan matematika sedang dan rendah.
4.
Terdapat interaksi yang signifikan antara pendekatan pembelajaran dan
tingkat kemampuan matematika siswa terhadap peningkatan kemampuan kreativitas matematika
siswa.
Data peningkatan kreativitas matematika siswa yang telah diperoleh akan diuji menggunakan ANOVA
2 jalur setelah memenuhi syarat uji
normalitas dan homogenitas untuk melihat apakah terdapat interaksi antara
pendekatan pembelajaran dengan tingkat kemampuan matematika terhadap
peningkatan kemampuan pemahaman matematika
siswa. Setelah diujikan dengan ANOVA 2 jalur, kemudian
dilanjutkan dengan uji Scheffe.. Adapun desain rancangan penelitian yang digunakan untuk
mengetahui hubungan antara varibel penelitian adalah seperti pada tabel 3.17 yakni:
Tabel 3.17 Desain faktorial 3×2 untuk mengetahui
interaksi antara
pendekatan pembelajaran dan tingkat kemampuan matematika siswa
terhadap peningkatan Kreativitas matematika
siswa
Kemampuan Yang Diukur
|
Tingkat Kemampuan Matematika
(A)
|
Pendekatan Pembelajaran (B)
|
|
Kelas Eksperimen (B1)
|
Kelas Kontrol
(B2)
|
||
Gain
|
Gain
|
||
Kreatifitas Matematika
|
Tinggi (Ay1)
|
Ay1B1
|
Ay1B2
|
Sedang (Ay2)
|
Ay2B1
|
Ay2 B2
|
|
Rendah (Ay3)
|
Ay3B1
|
Ay3B2
|
Keterangan :
Ay1B1 : interaksi antara model pembaelajaran
pencapaian konsep dan kemampuan matematika
terhadap kreativitas matematika pada kelompok tinggi
Ay2B1 :
interaksi antara model pembaelajaran pencapaian konsep
dan kemampuan matematika terhadap kreativitas matematika pada kelompok sedang
Ay3B1 :
interaksi antara model pembaelajaran pencapaian konsep
dan kemampuan matematika terhadap kreativitas matematika pada kelompok rendah
Ay1B2 :
interaksi antara pembaelajaran konvensional
dan kemampuan matematika terhadap kreativitas matematika pada kelompok tinggi
Ay2 B2 :
interaksi antara pembaelajaran konvensional
dan kemampuan matematika terhadap kreativitas matematika pada kelompok sedang
Ay3B2 : interaksi
antara pembaelajaran konvensional dan
kemampuan matematika terhadap kreativitas matematika pada kelompok rendah
Selanjutnya tabel
ANOVA yang perlu diisi adalah sebagai berikut:
Tabel 3.18 Rancangan Tabel ANOVA untuk
Mengetahui Interaksi Antara Pendekatan Pembelajaran Dan Tingkat Kemampuan Matematika Siswa
Terhadap Peningkatan Kreativitas Matematika Siswa
Sumber
|
JK
|
dk
|
RJK
|
F
|
T. Kemampuan Matematika (A)
|
JKa
|
J-1
|
JKa/(J-1)
|
RJKa/RJKi
|
Pendekatan Pembelajaran (B)
|
JKb
|
K-1
|
JKb/(K-1)
|
RJKb/RJKi
|
A×B
|
JKab
|
(J-1)(K-1)
|
JKab/(J-1)(K-1)
|
RJKab/RJKi
|
Inter
|
JKi
|
J×K×(n-1)
|
JKi/ J×K×(n-1)
|
|
Dengan
F kritis diperoleh dari F tabel dengan dk {y, J×K×(n-1)} dan α=0,5%
Keterangan:
JKa :
Jumlah kuadrat menurut faktor A
JKb : Jumlah kuadrat menurut faktor B
JKab : Jumlah kuadrat menurut faktor A dan faktor B
JKi : Jumlah kuadrat inter kelompok
N :
Banyak anggota per kelompok
n : banyak anggota seluruhnya
K :
Banyak kolom
J :
Banyak baris
Adapun masing-masing JKa, JKb, JKab,
dan JKi diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
Untuk memperoleh tabel nilai JKi kita harus mengetahui
terlebih dahulu rerata per kotak, rerata menurut baris kotak, rerata menurut
kolom kotak dan rerata seluruhnya. Secara singkat seperti tabel berikut:
Tabel 3.19 Tabel Perhitungan Rerata untuk Mengetahui Interaksi Antara Pendekatan Pembelajaran Dan
Tingkat Kemampuan Matematika Siswa Terhadap Peningkatan Pemahaman Konsep Matematika Siswa
Kemampuan Yang Diukur
|
Tingkat Kemampuan Matematika (A)
|
Pendekatan Pembelajaran (B)
|
|
|
Kelas Eksperimen (B1)
|
Kelas Kontrol
(B2)
|
|
||
Gain
|
Gain
|
|
||
Pemahaman konsep Matematika
|
Tinggi (Ax1)
|
|
|
|
Sedang (Ax2)
|
|
|
|
|
Rendah(Ax3)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Selanjutnya
dilakukan uji F berdasarkan tabel ANOVA yang telah diperoleh, dengan
membandingkan Fhitung dengan Ftabel dengan dk
(y,J×K×(n-1)) dan α = 0,05. Kriteria pengujiannya adalah tolak H0 jika Fhitung>Ftabel
dan terima H0 untuk
kondisi lainnya. Adapun hipotesis H0 yang akan diuji adalah sebagai
berikut:
H0 : μ11 – μ12 = μ21
– μ22 = μ31 – μ32 : Tidak terdapat interaksi yang signifikan
antara pendekatan
pembelajaran dan tingkat kemampuan matematika siswa terhadap peningkatan
kemampuan pemahaman matematika siswa
Apabila terdapat
interaksi yang signifikan maka akan dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan
uji Scheffe. Adapun uji Scheffe dilakukan untuk melihat sejauh mana perbedaan
interaksi masing-masing perlakuan. Apakah peningkatan kreativitas matematika model pembelajaran
pencapaian konsep lebih signifikan terlihat dari pada
pembelajaran konvensional pada siswa yang kemampuan matematikanya tinggi atau sebaliknya? Demikian juga untuk
siswa kemampuan matematika sedang dan rendah.
Dengan demikian sesuai rancangan penelitian yang telah
dipaparkan di atas, rumusan masalah, hipotesis data, alat uji, dan statistik
semuanya saling terkait. Keterkaitan antara rumusan masalah, hipotesis, data,
alat uji dan uji statistik dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.20 berikut:
Tabel 3.20. Keterkaitan Antara
Rumusan Masalah, Hipotesis, Data, Alat Uji
dan Uji Statistik
No
|
Rumusan Masalah
|
Hipotesis
|
Data
|
Alat Uji
|
Uji Statistik
|
1
|
Apakah
peningkatan pemahaman konsep matematika siswa yang diajarkan dengan model
pencapaian konsep lebih tinggi dari pada pemahaman konsep matematika siswa
yang diajarkan dengan?
|
peningkatan
pemahaman konsep matematika siswa yang diajarkan dengan model pencapaian
konsep lebih tinggi dari pada pemahaman konsep matematika siswa yang
diajarkan dengan pembelajaran konvensional
|
Gain
Ternormalisasi Kemampuan Pemahaman konsep Kelas Eksperimen dan Gain Ternormalisai
Kemampuan pemahaman konsep Kelas Kontrol
|
Tes pemahaman
konsep
|
Anova Dua
Jalur
|
2
|
Apakah
peningkatan kemampuan kreativitas matematika siswa yang diajarkan dengan
model pencapaian konsep lebih tinggi dari pada kreativitas matematika siswa
yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional?
|
peningkatan
kemampuan kreativitas matematika siswa yang diajarkan dengan model pencapaian
konsep lebih tinggi dari pada kreativitas matematika siswa yang diajarkan
dengan pembelajaran konvensional
|
Gain
Ternormalisasi Kemampuan kreativitas Kelas Eksperimen dan Gain Ternormalisai Kemampuan Kreativitas Kelas Kontrol
|
Tes kreativitas
|
Anova Dua Jalur
|
3
|
Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan tingkat kemampuan
matematika siswa terhadap peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematika
siswa?
|
Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan tingkat
kemampuan matematika siswa terhadap peningkatan kemampuan pemahaman konsep
matematika siswa
|
Gain
Ternormalisasi Kemampuan Pemahaman konsep Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
kelompok tinggi, sedang, rendah
|
Tes pemahaman
konsep
|
Anova Dua
Jalur
|
4
|
Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan tingkat kemampuan matematika siswa terhadap
pembelajaran konvensional peningkatan kemampuan kreativitas matematika
siswa?
|
Terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan tingkat kemampuan matematika siswa terhadap
peningkatan kemampuan kreativitas matematika siswa.
|
Gain
Ternormalisasi Kemampuan kreativitas Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol kelompok tinggi, sedang, rendah
|
Tes kreativitas
|
Anova Dua Jalur
|
5
|
Bagaimanakah
aktivitas siswa selama proses pembelajaran model pencapaian konsep berlangsung?
|
Aktivitas
siswa yang memperoleh pembelajaran model
pencapaian konsep lebih positif daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional
|
Observasi
|
-
|
Deskribtif.
|
2.7. Prosedur Penelitian
Penelitian eksperimen ini
dilakukan dengan prosedur yang melalui tahapan alur kerja penelitian yang
diawali dengan studi pendahuluan untuk merumuskan identifikasi masalah,
merumuskan masalah dan studi literatur yang pada akhirnya diperoleh perangkat
penelitian berupa bahan ajar, pendekatan pembelajaran, instrumen penelitian.
Perangkat penelitian ini sebelum diujicobakan telah dilakukan validasi baik isi
dan wajah oleh para pakar pendidikan yang berkompetensi.
Selama dilakukan tindakan
berupa pembelajaran menggunakan model
pembelajaran yaitu model pembelajaran pencapaian konsep pada kelas eksperimen dan
Pembelajaran Konvensional pada kelas kontrol juga dilakukan observasi. Hasil
observasi ini digunakan untuk analisis data secara kualitatif. Sedangkan
analisis secara kuantitatif dilakukan terhadap data yang diperoleh dari gain
antara postes dan pretes untuk kemampuan pemahaman matematika dan kreatifitas
matematika siswa. Gambar 3.1 berikut ini merupakan
rangkuman tahapan alur kerja penelitian yang dilakukan
Gambar 3.1 Bagan Prosedur Penelitin
Data selengkapnya Download di sini
ada contoh yang PTK ga pak ?
BalasHapusbagus pak
BalasHapusterima kasih pak sangat membantu saya.!!
BalasHapusVisit : http://www.herbalonlinetop.com/2015/09/obat-tradisional-untuk-sakit-kencing-manis.html
Terimakasih pak...Super membantu dalam penyusunan skripsi saya karena kedua tujuannya yg harus dicapai sama kyak skripsi saya..👍👍👍
BalasHapusBolehkah saya meminta file nya pak? Butuh banget buat memahami Contoh sintak model pencapaian konsepnya seperti apa dalam pembelajaran matematika nya.. Terima kasih sebelumnya
BalasHapusLucky 15 Casino | Georgia
BalasHapusLucky 15 Casino is a licensed 스트립 포커 operator 메이저벳 of the Georgia Sports Betting 애니팡포커 Authority (GA) and has 도박사이트 been certified as operating legally and safely. To claim your 바퀴벌레 포커 bonus
Harrah's Cherokee Casino & Hotel - Mapyro
BalasHapusFree WiFi and free parking at Harrah's 하남 출장안마 Cherokee Casino & Hotel, Cherokee. 하남 출장안마 Mapyro users 진주 출장마사지 have 광주 출장샵 the 김포 출장마사지 option of booking a room at the hotel. Rating: 3.6 · 8 votes